BNI Sambut Positif Rencana Penyelamatan Sritex, Meski Pembayaran Utang Belum Terwujud

BNI Sambut Positif Rencana Penyelamatan Sritex, Meski Pembayaran Utang Belum Terwujud

Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI), Royke Tumilaar, menyatakan kesiapannya menyambut baik rencana penyelamatan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil raksasa Asia Tenggara yang dinyatakan pailit sejak Oktober 2024 dan menghentikan seluruh operasional pabriknya pada 1 Maret 2025. Pernyataan ini disampaikan Tumilaar saat ditemui di Menara Danareksa, Jakarta, Senin (10/3/2025), menanggapi isu penyelamatan Sritex oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Saya sudah mengetahui kabar tersebut. Kita lihat saja perkembangan selanjutnya," ujar Tumilaar singkat, menekankan sikap menunggu perkembangan lebih lanjut terkait rencana penyelamatan tersebut. Meskipun demikian, ia secara tegas menyatakan apresiasi terhadap upaya penyelamatan perusahaan yang tengah menghadapi kesulitan keuangan yang signifikan ini. Ia berpendapat bahwa kebangkitan Sritex akan memberikan dampak positif bagi berbagai pihak, termasuk para kreditur.

"Lebih baik jika perusahaan tersebut bisa kembali beroperasi. Akan jauh lebih baik daripada membiarkannya kolaps. Ini akan menjadi kabar baik," tambah Tumilaar, menekankan potensi dampak positif dari keberhasilan penyelamatan Sritex. Sebagai salah satu kreditur utama Sritex, BNI memiliki posisi strategis dalam proses ini. Berdasarkan laporan keuangan Sritex per September 2024, tercatat utang perusahaan kepada BNI mencapai Rp 375 miliar, yang hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda pembayaran.

"Sampai saat ini belum ada perubahan terkait pembayaran utang tersebut," tegas Tumilaar, menggarisbawahi belum adanya pembayaran dari Sritex kepada BNI. Kondisi ini semakin mempertegas tantangan yang dihadapi dalam proses penyelamatan perusahaan. Saat ini, Sritex berada di bawah kendali kurator, yang tengah menghadapi kompleksitas permasalahan utang perusahaan.

Berdasarkan data Tim Kurator, Sritex memiliki total 1.645 kreditur yang tercantum dalam Daftar Piutang Tetap (DPT). Total tagihan utang Sritex mencapai angka yang fantastis, yakni Rp 35,7 triliun, meskipun Tim Kurator hanya mengakui sebesar Rp 29,8 triliun. Angka-angka tersebut menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi dalam proses restrukturisasi dan penyelamatan Sritex.

Proses penyelamatan Sritex tidak hanya berdampak pada nasib perusahaan dan para karyawannya, tetapi juga berimplikasi luas pada sektor industri tekstil nasional dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, langkah-langkah yang diambil harus terencana dan terukur untuk memastikan keberhasilan penyelamatan dan meminimalisir risiko yang mungkin muncul di kemudian hari. Perhatian dari pemerintah dan berbagai pihak terkait sangat dibutuhkan untuk mengawasi dan mendukung proses ini agar berjalan dengan lancar dan mencapai tujuannya.

Kesimpulan: Meskipun masih dalam tahap awal, rencana penyelamatan Sritex disambut positif oleh BNI sebagai salah satu kreditur utama. Namun, realisasi rencana tersebut masih harus dikaji lebih lanjut, khususnya mengingat belum adanya pembayaran utang dari Sritex kepada para krediturnya. Proses ini memerlukan koordinasi yang solid antara berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah, kurator, dan kreditur, untuk memastikan keberhasilan penyelamatan dan keberlanjutan bisnis Sritex ke depannya.