Polemik Anjuran Konsumsi Susu 2 Liter Sehari: Tinjauan Medis dan Implikasinya

Konsumsi Susu Berlebihan Picu Kontroversi di Kalangan Ahli Gizi

Pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) mengenai manfaat konsumsi susu hingga dua liter per hari bagi pertumbuhan anak telah memicu perdebatan di kalangan ahli gizi dan kesehatan. Klaim tersebut, yang didasarkan pada pengalaman pribadi dengan kedua putranya, menimbulkan pertanyaan tentang relevansi dan keamanan praktik tersebut secara umum.

Beberapa pakar kesehatan menyoroti potensi dampak negatif dari konsumsi susu berlebihan. Dr. Asyam Syafiq, seorang health influencer, merekomendasikan asupan susu harian untuk anak usia sekolah antara 700 hingga 1000 ml. Jumlah ini sejalan dengan anjuran American Academy of Pediatrics (AAP) yang menyarankan sekitar 700-900 ml susu rendah lemak per hari untuk anak usia 9-18 tahun. Melebihi takaran tersebut, menurutnya, dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi dan masalah kesehatan lainnya.

Dr. Nurul Ratna Mutu Manikam M.Gizi, Sp.GK, seorang dokter spesialis gizi klinis, juga berpendapat bahwa konsumsi susu 2 liter per hari bukanlah pilihan ideal untuk mendukung pertumbuhan dan kesehatan anak secara menyeluruh. Ia menekankan pentingnya pemenuhan nutrisi dari makanan padat, terutama setelah usia satu tahun.

Pergeseran Paradigma Gizi dan Intoleransi Laktosa

Dr. Santi, seorang Health Management Specialist di Corporate HR Kompas Gramedia, menambahkan bahwa susu bukan lagi komponen wajib dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi. Ia menjelaskan bahwa panduan makan di Indonesia telah bergeser dari konsep “4 sehat 5 sempurna” ke prinsip “Isi Piringku” yang menekankan keseimbangan antara sayur, buah, makanan pokok, dan lauk pauk. Dalam konteks ini, susu hanya menjadi salah satu pilihan sumber protein.

Lebih lanjut, DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum, seorang ahli gizi masyarakat, secara tegas menentang pernyataan kepala BGN dan menyebutnya sebagai tindakan yang menyesatkan. Ia menyoroti prevalensi intoleransi laktosa yang tinggi di kalangan etnis Melayu, di mana lebih dari 80% populasi mengalami kesulitan mencerna laktosa. Kondisi ini membuat anjuran konsumsi susu dalam jumlah besar tidak sesuai untuk sebagian besar masyarakat Indonesia.

Intoleransi laktosa terjadi akibat kekurangan enzim laktase yang diperlukan untuk memecah laktosa, gula alami dalam susu. Gejala intoleransi laktosa dapat bervariasi, mulai dari ringan seperti perut kembung hingga berat seperti diare. Dengan demikian, rekomendasi konsumsi susu harus mempertimbangkan kondisi individu dan potensi risiko intoleransi laktosa.

Implikasi Kebijakan dan Edukasi Masyarakat

Perdebatan ini menggarisbawahi pentingnya penyampaian informasi gizi yang akurat dan berbasis bukti kepada masyarakat. Anjuran konsumsi makanan dan minuman harus disesuaikan dengan kebutuhan individu, mempertimbangkan faktor usia, kondisi kesehatan, dan latar belakang etnis. Pemerintah dan tenaga kesehatan perlu bekerja sama untuk memberikan edukasi yang komprehensif dan menghindari penyebaran informasi yang menyesatkan.

Kontroversi seputar anjuran konsumsi susu 2 liter sehari ini menjadi pengingat bahwa gizi adalah ilmu yang dinamis. Rekomendasi gizi terus berkembang seiring dengan penelitian dan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebutuhan tubuh manusia. Masyarakat perlu memiliki akses terhadap informasi yang terpercaya dan kritis dalam menyikapi berbagai klaim kesehatan yang beredar.