Celios Kritik Metode Pengukuran Kemiskinan BPS: Data Tak Akurat Picu Kebijakan Keliru

Celios Soroti Ketidakakuratan Data Kemiskinan BPS, Memicu Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik metode pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Celios, metode yang digunakan BPS sudah usang dan tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia saat ini.

Celios menyoroti perbedaan signifikan antara data kemiskinan yang dirilis BPS dengan data dari Bank Dunia. BPS mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia hanya sekitar 8,5 persen, atau sekitar 24 juta jiwa. Sementara itu, Bank Dunia memperkirakan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 60,3 persen, atau sekitar 172 juta jiwa. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan tentang validitas dan akurasi data yang digunakan BPS.

Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Celios, menjelaskan bahwa metode pengukuran kemiskinan BPS masih berfokus pada garis kemiskinan berdasarkan kecukupan kalori dan indikator kesejahteraan berdasarkan pengeluaran. Metode ini, menurutnya, tidak mampu menangkap kompleksitas kemiskinan di era modern, seperti beban utang, ketimpangan akses layanan publik, dan tekanan finansial rumah tangga kelas menengah. Banyak keluarga yang sebenarnya mengalami kesulitan ekonomi, seperti terlilit utang pinjaman online atau terpaksa menjual aset untuk biaya pendidikan, tidak tercatat sebagai penduduk miskin karena pengeluaran mereka dianggap tinggi.

Celios juga menyoroti penggunaan skema penduduk yang mengalami penurunan daya beli sebagai referensi dalam perhitungan garis kemiskinan. Hal ini menyebabkan garis kemiskinan tidak naik signifikan, sehingga statistik kemiskinan terlihat membaik, padahal kesejahteraan masyarakat secara umum justru memburuk.

Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Celios, menekankan dampak negatif dari ketidakakuratan data kemiskinan. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah menjadi tidak tepat sasaran, alokasi anggaran menjadi tidak presisi, dan skema bantuan sosial tidak efektif. Akibatnya, persentase anggaran perlindungan sosial terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menjadi salah satu yang terendah di Asia.

Bhima mencontohkan, dalam pemberian subsidi energi, jumlah penerima seharusnya jauh lebih besar dari yang dianggarkan saat ini. Namun, karena data kemiskinan BPS menunjukkan angka yang rendah, anggaran subsidi energi pun terbatas. Hal ini menyebabkan pemerintah menyalahkan subsidi yang tidak tepat sasaran, padahal banyak penduduk yang sebenarnya membutuhkan bantuan sosial tidak tercover karena tidak terdata sebagai penduduk miskin.

Problematika data yang tidak akurat juga berdampak pada efektivitas stimulus pemerintah. Contohnya, Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang berlaku pada Juni-Juli 2025 justru menciptakan ketimpangan antara pekerja formal dan informal karena menggunakan data dari BPJS Ketenagakerjaan. Banyak pekerja informal yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan sehingga tidak menerima BSU. Hal ini mengulangi kesalahan yang sama seperti saat pandemi Covid-19, di mana banyak pekerja informal, pekerja kontrak, ojol, dan pekerja outsourcing tidak mendapatkan bantuan sosial karena persoalan pendataan.

Celios mendesak pemerintah untuk segera memperbaiki metode pengukuran kemiskinan agar data yang dihasilkan lebih akurat dan relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Dengan data yang akurat, kebijakan yang diambil pemerintah akan lebih tepat sasaran dan efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.