Intan Anggun Pangestu: Mendobrak Dominasi Pria dalam Dunia Pembuatan Keris
Kisah Intan Anggun Pangestu: Perempuan di Balik Pusaka Tosan Aji
Di tengah dominasi kaum pria dalam dunia pembuatan senjata tradisional Jawa atau tosan aji, muncul sosok Intan Anggun Pangestu, seorang pengajar di ISI Solo yang mendobrak tradisi dan merawat warisan leluhur.
Perjalanan Intan sebagai seorang empu, atau ahli pembuat tosan aji, dimulai pada tahun 2012 ketika ia mendapatkan beasiswa untuk belajar tentang keris di ISI Solo. Meskipun terlahir dari keluarga yang memiliki garis keturunan sebagai pembuat keris di Blitar, Jawa Timur, ketertarikan Intan pada dunia tosan aji justru tumbuh dari kekagumannya pada sosok Nyi Sombro, seorang tokoh perempuan legendaris yang dikenal sebagai pembuat keris.
"Saya merasa terdorong untuk mengeksplorasi peran perempuan dalam dunia yang selama ini didominasi oleh laki-laki," ungkap Intan. Keinginan untuk meneruskan jejak Nyi Sombro menjadi motivasi utama bagi Intan untuk mendalami seni pembuatan keris.
Hingga saat ini, Intan telah menghasilkan 20 karya tosan aji, dimulai dengan sebuah tombak. Dalam pameran Reka Cipta #2 Lumur Wesi Aji, Intan menciptakan sebuah keris dengan filosofi mendalam tentang daun pisang. Ia menjelaskan bahwa daun pisang dipilih sebagai simbol perempuan yang lahir kembali, baik sebagai seorang ibu maupun dalam peran profesional lainnya.
Proses pembuatan keris oleh Intan membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Ia menjalankan ritual khusus sebelum memulai pengerjaan, namun tanpa menggunakan sesaji. Intan memadukan kepercayaan tradisional dengan pendekatan modern dalam setiap karyanya.
"Sesuai kepercayaan, saya tetap ada doa-doanya, namun saya tidak menggunakan sesaji," jelasnya.
Dalam pemilihan material, Intan juga berinovasi dengan memanfaatkan limbah industri. Ia mengganti nikel dengan knalpot bekas karena kemiripan warnanya. Langkah ini sejalan dengan tema pameran yang mengangkat isu limbah industri.
Melawan Stigma Klenik
Pameran Reka Cipta #2 Lumur Wesi Aji tidak hanya menampilkan karya-karya tosan aji yang indah, tetapi juga berupaya untuk menghilangkan stigma negatif yang melekat pada keris. Direktur Program Reka Cipta, Hanusapati, menjelaskan bahwa pameran ini bertujuan untuk mengubah stereotip bahwa keris identik dengan hal-hal klenik.
"Itu stereotip yang banyak dibentuk oleh masyarakat lewat film dan sinetron, di mana dukun sering menggunakan keris. Cerita-cerita mistik seperti itu sebenarnya kami perangi," tegas Hanusapati.
Pameran ini dirancang dengan suasana yang lebih terbuka dan inklusif, jauh dari kesan angker dan mistis. Display karya pun dibuat lebih ramah dan kekinian, tanpa menggunakan menyan atau elemen-elemen mistis lainnya.
Hanusapati menekankan bahwa tosan aji harus dipandang sebagai karya seni pada umumnya yang relevan dengan masa kini. Dengan menghilangkan stigma negatif, diharapkan masyarakat dapat lebih mengapresiasi keindahan dan nilai budaya dari tosan aji.