Polemik Chattra Borobudur Kembali Mencuat: Restorasi atau Distorsi Sejarah?
Wacana pemasangan chattra, ornamen payung yang menjadi penutup stupa induk Candi Borobudur, kembali menjadi perbincangan hangat setelah kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, dikabarkan memberikan lampu hijau terhadap rencana yang sempat tertunda ini, memicu kembali perdebatan di kalangan akademisi, arkeolog, dan masyarakat luas.
Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Philip Kuntjoro Widjaja, mengungkapkan optimisme terkait realisasi pemasangan chattra usai berdiskusi dengan Menteri Kebudayaan. Menurutnya, pemasangan chattra akan menyempurnakan Borobudur sebagai representasi Buddha. Philip juga menyebutkan bahwa rencana ini telah disampaikan kepada Presiden Prabowo.
Namun, rencana ini bukan tanpa kontroversi. Sebelumnya, pada tahun 2024, wacana serupa mencuat dan bahkan direncanakan akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. Akan tetapi, gelombang penolakan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan arkeolog, menggema di media sosial dengan tagar #PrayforBorobudur. Kekhawatiran utama adalah potensi distorsi sejarah dan kerusakan pada struktur asli candi.
Penolakan tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan krusial:
- Kondisi Batu Chattra: Hasil kajian teknis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa batu penyusun chattra tidak lagi utuh dan sistem pengaitnya tidak kuat.
- Prosedur Pelestarian: Pemasangan chattra harus mengikuti prosedur pelestarian cagar budaya yang ketat dan memerlukan koordinasi lintas lembaga.
Menyikapi polemik yang berkembang, rapat koordinasi tingkat menteri memutuskan untuk menunda pemasangan chattra. Kementerian Agama menekankan pentingnya pendekatan adaptif dengan mengutamakan aspek spiritualitas umat Buddha, namun tetap berpegang pada ketentuan Undang-Undang Cagar Budaya.
BRIN kemudian merumuskan tiga opsi kebijakan, salah satunya merekomendasikan agar rekonstruksi chattra oleh Theodoor van Erp belum dapat dipasang. Rekomendasi ini mempertimbangkan aspek arkeologis, historis, dan potensi penolakan sosial.
Pada tahun 2018, tim arkeolog Balai Konservasi Borobudur (sekarang MCB) juga telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemasangan chattra. Arkeolog Hari Setyawan menyoroti persoalan keaslian bentuk, bahan, dan teknik pengerjaan chattra.
Hari menjelaskan bahwa Van Erp, dalam restorasi awal abad ke-20, melakukan manipulasi terhadap balok batu pada struktur candi, termasuk dinding, pagar langkan, kemuncak, dan selasar. Manipulasi ini dilakukan dengan memahat batu sesuai interpretasinya yang disamakan dengan panel relief di Candi Borobudur.
Fakta menarik lainnya adalah hanya sembilan dari 52 relief di Borobudur yang menampilkan stupa dengan chattra. Sisanya tidak. Hari menambahkan bahwa chattra umumnya digunakan untuk stupa perabuan atau relik, bukan untuk stupa Dharmakaya seperti Borobudur.
Bahkan, Van Erp sendiri sempat memasang chattra pada awal restorasi, namun kemudian mencopotnya kembali setelah menyadari kekeliruan tersebut.
"Stupa tidak harus ber-chattra. Anda dibohongi kalau stupa harus pakai chattra," tegas Hari.
Dengan demikian, wacana pemasangan chattra Borobudur kembali menghidupkan perdebatan tentang batasan restorasi dan upaya pelestarian warisan budaya. Apakah pemasangan chattra akan menyempurnakan Borobudur atau justru mendistorsi sejarahnya?