Fenomena Pernikahan Anak di Lombok: Tinjauan Psikologis dan Dampak Jangka Panjang
Pernikahan Anak di Lombok Tengah Menjadi Perhatian Publik
Sebuah video yang memperlihatkan pernikahan anak di bawah umur di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah memicu diskusi hangat di masyarakat. Peristiwa ini melibatkan dua remaja, YL dan RN, keduanya berusia 15 tahun, yang melangsungkan pernikahan pada tanggal 5 Mei 2025. Pernikahan ini tidak tercatat secara resmi di catatan sipil.
Kisah pernikahan mereka terbilang unik. Awalnya, mereka telah menikah, namun kemudian dipisahkan oleh tokoh masyarakat setempat karena usia mereka yang masih sangat muda. Namun, hanya berselang tiga minggu, keduanya memutuskan untuk kembali menikah melalui prosesi adat merariq, atau kawin lari, yang merupakan bagian dari budaya Sasak. Dalam tradisi ini, mempelai wanita dibawa oleh mempelai pria ke Sumbawa selama dua hari dua malam sebelum akhirnya kembali ke Lombok.
Setelah kembali ke rumah mempelai laki-laki, kepala dusun berinisiatif menghubungi pihak keluarga perempuan dengan tujuan mengembalikan anak mereka. Namun, orang tua mempelai wanita memilih untuk mempertahankan pernikahan tersebut, dengan alasan menghormati tradisi yang berlaku di daerah mereka.
Dampak Psikologis Pernikahan Anak
Psikolog anak, Gloria Siagian M, memberikan pandangannya mengenai dampak pernikahan anak terhadap kondisi mental remaja. Menurutnya, anak-anak yang dipaksa untuk memikul peran sebagai suami atau istri di usia yang sangat muda rentan mengalami masalah emosional dan psikologis.
Pada usia remaja, individu cenderung memiliki emosi yang labil dan belum mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam menghadapi konflik rumah tangga yang mungkin timbul. Kurangnya kematangan emosional dapat membuat mereka merasa kewalahan dan tidak mampu mengatasi tantangan yang muncul dalam pernikahan.
Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menghambat perkembangan emosional anak. Mereka kehilangan kesempatan untuk mengalami masa pertumbuhan yang sehat dan normal seperti remaja lainnya. Hal ini dapat berdampak negatif pada kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, membangun hubungan yang sehat, dan mengembangkan identitas diri yang kuat.
Gloria menambahkan bahwa kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya stres dan depresi, terutama jika anak tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari orang-orang di sekitarnya. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi sebagai suami atau istri, ditambah dengan kurangnya pengalaman dan keterampilan dalam mengelola hubungan, dapat memicu perasaan cemas, sedih, dan putus asa.
Lebih lanjut, pernikahan anak juga dapat menghambat perkembangan diri secara sosial dan psikologis. Anak-anak yang menikah di usia dini mungkin kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, mengembangkan keterampilan, dan mengeksplorasi minat mereka. Hal ini dapat membatasi potensi mereka dan menghalangi mereka untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan.
- Kehilangan masa remaja
- Tekanan ekonomi dan sosial
- Kesehatan reproduksi yang terancam
- Potensi kekerasan dalam rumah tangga
Penting untuk diingat bahwa setiap kasus pernikahan anak memiliki kompleksitasnya sendiri dan dampaknya dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk dukungan keluarga, kondisi ekonomi, dan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. Namun, secara umum, pernikahan anak merupakan praktik yang merugikan dan dapat memiliki konsekuensi jangka panjang bagi kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak.
Pencegahan pernikahan anak membutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, keluarga, dan tokoh agama. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pernikahan anak.
- Memperkuat penegakan hukum terkait usia pernikahan.
- Memberikan akses pendidikan dan keterampilan bagi anak perempuan.
- Mendukung keluarga dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial anak.
- Melibatkan tokoh agama dan masyarakat dalam upaya pencegahan pernikahan anak.
Dengan upaya yang terkoordinasi dan berkelanjutan, diharapkan praktik pernikahan anak dapat diakhiri dan anak-anak dapat memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.