Integrasi Peta Hutan: Kunci Penertiban Lahan Sawit dan Pencegahan Konflik
Integrasi Peta Hutan: Kunci Penertiban Lahan Sawit dan Pencegahan Konflik
Penertiban lahan perkebunan sawit di Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, khususnya dalam hal pengelolaan data spasial kawasan hutan. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang menekankan pentingnya kebijakan 'satu peta hutan' atau one map policy, menjadi landasan hukum yang krusial dalam upaya ini. Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Yanto Santosa, mengajukan perlunya integrasi data untuk menghindari tumpang tindih dan memastikan penertiban yang adil dan berkelanjutan.
Prof. Santosa menekankan bahwa keberhasilan penertiban lahan sawit bergantung pada penyelesaian masalah perbedaan data spasial yang selama ini terjadi antar kementerian. “Saat ini, Kementerian Kehutanan memiliki peta sendiri, Kementerian Transmigrasi memiliki peta sendiri, dan hal ini menimbulkan ketidakpastian dan potensi konflik,” ujarnya. Oleh karena itu, penerapan one map policy menjadi sangat urgen untuk menciptakan acuan tunggal yang disepakati semua pihak, mencegah klaim yang tumpang tindih, dan memberikan kepastian hukum bagi semua pemangku kepentingan. Pentingnya pengukuhan kawasan hutan sebelum penertiban juga ditekankan, guna menghindari penggunaan data yang belum terverifikasi dan sah secara hukum.
Proses pengukuhan kawasan hutan ini, menurut Prof. Santosa, harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat setempat. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses penetapan batas kawasan hutan sangat penting untuk memastikan transparansi, mencegah potensi konflik sosial, dan memperoleh legitimasi dari semua pihak. Praktik penetapan sepihak yang selama ini terjadi harus dihentikan. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk memberikan masukan dan keberatan sebelum penetapan resmi dilakukan. Setelah konsultasi publik dan penataan batas yang komprehensif, pemerintah dapat menerbitkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menetapkan batas-batas kawasan hutan dan fungsinya (hutan lindung, hutan konservasi, atau hutan produksi).
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa sekitar 3,3 juta hektare dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit berada di dalam kawasan hutan. Angka ini menunjukan besarnya tantangan yang dihadapi dalam penertiban lahan. Satgas penertiban kawasan hutan, oleh karena itu, harus melakukan inventarisasi secara cermat dan teliti, memastikan validitas data, dan menghindari kesalahan dalam proses penetapan. Konsultasi dan partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci keberhasilan, tidak hanya untuk menghindari konflik, tetapi juga untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan industri kelapa sawit bagi perekonomian lokal, nasional, dan internasional. Penertiban yang bijak dan berbasis data yang akurat akan menjadi kunci keberhasilan program ini dan menjamin kelestarian lingkungan.
Lebih jauh lagi, Prof. Santosa menyatakan dukungannya terhadap semangat Perpres Nomor 5 Tahun 2025. Namun, keberhasilan implementasinya bergantung pada penerapan mekanisme yang transparan dan akuntabel, dengan memastikan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan dan penggunaan data spasial yang terintegrasi dan akurat. Dengan demikian, penertiban lahan sawit dapat dilakukan secara efektif, adil, dan berkelanjutan, sehingga mencegah konflik dan melindungi lingkungan.
Langkah-langkah penting yang perlu dilakukan:
- Penyelesaian masalah perbedaan data spasial antar kementerian.
- Pengukuhan kawasan hutan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
- Konsultasi publik dan transparansi dalam proses penetapan batas kawasan hutan.
- Inventarisasi lahan sawit yang akurat dan teliti.
- Penetapan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mencakup batas-batas kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan.
- Pemantauan dan evaluasi berkelanjutan.