Kritik Pedas Kanselir Jerman terhadap Operasi Israel di Gaza Membungkam Pemerintah Israel

Kritik tajam yang dilontarkan Kanselir Jerman, Friedrich Merz, terhadap operasi militer Israel di Jalur Gaza, hingga saat ini belum mendapatkan tanggapan resmi dari pejabat tinggi Israel. Pernyataan keras Merz ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional terkait dampak kemanusiaan dari konflik tersebut.

Dalam forum publik di Berlin, Merz menggambarkan situasi di Gaza sebagai "tragedi kemanusiaan dan bencana politik." Ia menyatakan kebingungannya terhadap tujuan operasi militer Israel dan menekankan bahwa, meskipun Jerman memiliki tanggung jawab sejarah terhadap Israel, mereka tidak bisa berdiam diri ketika hukum humaniter internasional dilanggar. Merz secara eksplisit menyatakan bahwa seorang kanselir Jerman harus bersuara jika batasan-batasan tersebut terlewati.

Ucapan Merz, yang dianggap sebagai kritik paling keras dari seorang pejabat tinggi Jerman terhadap Israel baru-baru ini, langsung direspon oleh Duta Besar Israel untuk Jerman, Ron Prosor. Prosor mengakui bahwa "kata-kata Kanselir Friedrich Merz memiliki bobot" karena posisinya sebagai sahabat Israel. Namun, Prosor membela tindakan Israel dengan alasan bahwa setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, Israel tidak dapat mentolerir berdirinya negara teror Hamas kedua. Ia menggambarkan dilema yang dihadapi Israel: menyelamatkan sandera, menjamin bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza, dan memerangi terorisme.

Prosor juga menuduh Hamas menggunakan fasilitas sipil seperti sekolah, masjid, dan rumah sakit sebagai pusat kegiatan militer, tuduhan yang dibantah oleh Hamas. Minimnya reaksi dari pejabat pemerintah Israel terhadap pernyataan Merz, di tengah liputan media yang luas, mengindikasikan bahwa kritik tersebut dianggap serius namun disampaikan dengan hati-hati, menurut Simon Wolfgang Fuchs, seorang ahli Islam dari Universitas Ibrani Yerusalem.

Fuchs membandingkan pendekatan Merz dengan negara-negara Eropa lain yang lebih tegas mengecam Israel. Ia mencatat bahwa Merz selama ini sangat berhati-hati dalam memberikan kritik. Diamnya para elite politik Israel menunjukkan bahwa komentar Merz sangat tepat sasaran dan mencerminkan betapa seriusnya kata-katanya diperhatikan di Yerusalem Barat.

Surat kabar Haaretz, dalam editorialnya, menyoroti bahwa kritik terhadap Netanyahu dari politisi sayap kiri seringkali ditolak dengan tuduhan antisemitisme. Namun, kritik dari tokoh pro-Israel seperti Merz tidak dijawab atau bahkan diabaikan.

Haaretz berpendapat bahwa Netanyahu memimpin "perang pemusnahan bermotif politik" terhadap warga Palestina di Gaza, dengan banyak warga sipil tewas setiap hari. Sikap hati-hati Duta Besar Prosor, yang biasanya melabeli kritik terhadap Israel sebagai antisemitisme, mengungkap kenyataan bahwa Israel hanya mendengarkan sekutu konservatifnya.

Peter Lintl, seorang ahli Israel dari lembaga think tank di Berlin, berpendapat bahwa pernyataan Merz harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Banyak negara anggota Uni Eropa sekarang mendukung peninjauan Perjanjian Asosiasi dengan Israel, yang meningkatkan hubungan ekonomi tetapi juga mewajibkan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Lintl percaya bahwa fakta bahwa perjanjian ini sekarang dipertanyakan menunjukkan bahwa pemerintah Benjamin Netanyahu merasakan tekanan global. Selain itu, kritik terhadap Israel juga datang dari pemerintah dan senator Amerika Serikat yang dikenal pro-Zionis. Dalam konteks ini, perubahan nada dari Jerman pasti akan didengar.

Fuchs menambahkan bahwa kekhawatiran juga dirasakan di dalam negeri Israel. Banyak warga Israel khawatir bahwa negara mereka kehilangan reputasinya secara drastis dan tidak lagi dianggap sebagai bagian dari nilai-nilai Barat. Padahal, mayoritas warga Israel merasa menjadi bagian dari Barat dan ingin mempertahankan ikatan tersebut.

Namun, Lintl berpendapat bahwa kecil kemungkinan pernyataan Merz akan cukup kuat untuk menghentikan perang. Tekanan politik terbesar terhadap Netanyahu justru datang dari dalam negeri, dengan sejumlah anggota kabinetnya menuntut pendudukan permanen Jalur Gaza. Ketergantungan politik Netanyahu pada kelompok ultranasionalis Yahudi membuat arah kebijakan sangat bergantung pada kekuatan internal tersebut.

Haaretz mengakhiri komentarnya dengan menyerukan kepada para politisi Jerman untuk tidak lagi secara buta menjamin "hak eksistensi Israel" tanpa mempertanyakan bagaimana hak itu digunakan. Tanggung jawab mereka justru terletak pada mempertanyakan bagaimana eksistensi itu dijalankan, terutama karena eksistensi tersebut juga berdiri di atas dukungan mereka. Surat kabar itu juga menambahkan bahwa sebagai sahabat Israel, Merz harus memilih: apakah sasarannya hanya menjadi viral di Instagram atau dia ingin benar-benar bertindak untuk menghentikan pembantaian brutal terhadap anak-anak Palestina di Gaza.