Sengketa Tarif Era Trump Berlanjut: Pengadilan Banding Aktifkan Kembali Kebijakan Kontroversial

Babak Baru Sengketa Tarif Era Trump: Pengadilan Banding Putuskan Aktifkan Kembali Kebijakan Kontroversial

Drama kebijakan tarif yang digagas mantan Presiden Donald Trump kembali bergulir. Pengadilan Banding Tingkat Federal di Washington D.C. baru-baru ini mengeluarkan putusan yang mengaktifkan kembali kebijakan tarif kontroversial tersebut. Keputusan ini muncul hanya sehari setelah Pengadilan Perdagangan Internasional memerintahkan pemblokiran tarif, menciptakan ketidakpastian baru bagi pelaku bisnis dan ekonomi global.

Putusan Pengadilan Banding ini membatalkan keputusan pengadilan yang lebih rendah, memberikan waktu bagi pemerintah untuk mengajukan banding. Pengadilan memerintahkan penggugat untuk memberikan tanggapan hingga tanggal 5 Juni, sementara pemerintah AS diberi waktu hingga 9 Juni untuk memberikan jawaban. Langkah ini mengindikasikan bahwa proses hukum masih akan berlanjut dan kemungkinan besar akan berujung di Mahkamah Agung.

Sebelumnya, Pengadilan Perdagangan Internasional yang berkedudukan di Manhattan berpendapat bahwa kewenangan mengatur perdagangan dengan negara lain secara eksklusif berada di tangan Kongres, sesuai dengan Konstitusi AS. Pengadilan berpendapat bahwa kewenangan presiden untuk menjaga perekonomian tidak dapat menggantikan kewenangan Kongres dalam hal perdagangan. Oleh karena itu, pengadilan menilai bahwa Trump telah melampaui batas kewenangannya dalam memberlakukan bea masuk.

Implikasi dan Reaksi

Penasihat perdagangan Trump, Peter Navarro, sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah akan mencari cara lain untuk menerapkan tarif, meskipun kalah di pengadilan. Perlu dicatat bahwa tidak ada pengadilan yang membatalkan tarif pada produk-produk seperti mobil, baja, dan aluminium yang diberlakukan dengan alasan keamanan nasional berdasarkan Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan tahun 1962. Pasal ini memberikan presiden wewenang untuk menyesuaikan impor yang dianggap mengancam keamanan nasional.

Presiden juga dapat menggunakan Pasal 301 Undang-Undang Perdagangan tahun 1974, yang sebelumnya digunakan untuk mengenakan tarif terhadap China. Pasal 338 Undang-Undang Perdagangan tahun 1930, yang jarang digunakan, memberikan presiden wewenang untuk mengenakan tarif hingga 50% pada impor dari negara-negara yang dianggap "mendiskriminasi" AS.

Jika pemerintah gagal dalam bandingnya, Badan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) akan mengeluarkan arahan kepada para petugasnya, menurut John Leonard, mantan pejabat tinggi di CBP. Sebaliknya, jika semua pengadilan mendukung putusan Pengadilan Perdagangan Internasional, entitas bisnis yang telah membayar tarif akan menerima pengembalian dana beserta bunganya. Ini termasuk tarif timbal balik, yang secara umum diturunkan menjadi 10% untuk sebagian besar negara, serta tarif produk China yang telah naik menjadi 145% dan kemudian diturunkan menjadi 30% setelah kesepakatan AS-China baru-baru ini. Leonard mengingatkan bahwa untuk saat ini, tidak ada perubahan di perbatasan dan tarif masih harus dibayar.

Gugatan dan Dasar Hukum

Putusan ini didasarkan pada dua kasus terpisah. Kasus pertama diajukan oleh Liberty Justice Center atas nama beberapa usaha kecil yang mengimpor barang dari negara-negara yang terkena dampak tarif Trump. Kasus kedua diajukan oleh koalisi pemerintah negara bagian AS. Kedua kasus ini merupakan tantangan hukum besar pertama terhadap kebijakan tarif yang diumumkan Trump pada 2 April 2025.

Panel yang terdiri dari tiga hakim memutuskan bahwa Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional (EEPA) tahun 1977, yang menjadi dasar kebijakan Trump, tidak memberikan wewenang untuk mengenakan pajak impor besar-besaran. Pengadilan juga memblokir serangkaian pungutan terpisah yang diberlakukan terhadap China, Meksiko, dan Kanada dengan alasan merespons arus narkoba dan imigran ilegal ke AS. Namun, pengadilan tidak diminta untuk menangani tarif yang dikenakan pada beberapa barang tertentu seperti mobil, baja, dan aluminium yang berada di bawah undang-undang yang berbeda.

Reaksi Pasar dan Pernyataan Tokoh

Pemerintahan Trump berpendapat bahwa pengadilan perdagangan telah memberikan penilaian yang tidak tepat dan putusan tersebut akan menggagalkan perundingan perdagangan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Trump mengecam putusan tersebut dan berharap Mahkamah Agung akan membatalkannya dengan cepat.

Jaksa Agung New York, Letitia James, menyambut baik putusan pengadilan federal. Ia menyatakan bahwa tidak ada presiden yang memiliki wewenang untuk menaikkan pajak sesuka hati dan tarif tersebut merupakan kenaikan pajak besar-besaran bagi keluarga pekerja dan bisnis Amerika.

Pasar global merespons positif putusan tersebut. Pasar saham di Asia naik dan kontrak berjangka saham AS melonjak. Dolar AS menguat terhadap mata uang safe haven seperti yen Jepang dan franc Swiss.

Latar Belakang Kebijakan Tarif

Pada 2 April, Trump meluncurkan tarif global yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mengenakan pajak impor pada sebagian besar mitra dagang AS. Tarif dasar 10% dikenakan pada sebagian besar negara, ditambah tarif timbal balik yang lebih tinggi. Puluhan negara dan blok terkena dampak ini, termasuk Uni Eropa, Inggris, Kanada, Meksiko, dan China.

Trump berargumen bahwa kebijakan ini akan meningkatkan manufaktur AS dan melindungi lapangan kerja. Sejak pengumuman tersebut, pasar global mengalami ketidakpastian. Berbagai negara berunding dengan perwakilan Trump untuk menegosiasikan pembalikan dan penangguhan tarif. Ketidakpastian pasar global semakin diperburuk oleh perang dagang antara AS dan China.

AS dan China akhirnya menyetujui 'gencatan senjata' melalui kesepakatan bilateral. Bea masuk AS untuk China turun menjadi 30%, sementara tarif China untuk beberapa impor AS berkurang menjadi 10%. Inggris dan AS juga telah mengumumkan kesepakatan mengenai tarif yang lebih rendah. Trump juga mengancam tarif 50% untuk semua barang yang datang dari Uni Eropa, namun kemudian memperpanjang tenggat waktu setelah negosiasi lebih lanjut.