Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Mengapa Istilah 'Orde Lama' Dihilangkan?
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kebudayaan, tengah melakukan penulisan ulang sejarah bangsa. Sebuah proyek monumental yang menghasilkan 10 jilid buku sejarah baru, namun dengan satu keputusan penting: penghilangan istilah 'Orde Lama'. Keputusan ini memicu diskusi di kalangan sejarawan dan pengamat politik.
Menanggapi hal ini, tokoh publik Fadli Zon menjelaskan bahwa istilah 'Orde Lama' sebenarnya tidak pernah digunakan secara resmi oleh pemerintahan Sukarno. Berbeda dengan 'Orde Baru' yang secara eksplisit digunakan oleh pemerintahan Soeharto untuk mendefinisikan diri mereka. Ia berpendapat bahwa penggunaan istilah 'Orde Lama' lebih merupakan konstruksi para sejarawan. Fadli Zon menyampaikan pandangannya usai rapat di Komisi X DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.
Alasan penghilangan istilah ini, menurut Fadli Zon, adalah untuk menghadirkan perspektif yang lebih netral dan inklusif dalam penulisan sejarah. Diharapkan, perubahan ini dapat menghilangkan konotasi negatif yang selama ini melekat pada periode tersebut. Menurutnya, penggunaan istilah 'Orde Lama' justru berasal dari pihak 'Orde Baru'.
Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah kemunculan istilah 'Orde Lama' itu sendiri?
Asal-Usul Istilah 'Orde Lama'
Merujuk pada buku "Kontroversi Politik Kyai Tarekat: Studi Pergeseran Orientasi Politik Kyai Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah" karya Dr. Ahmad Hasan Afandi, istilah 'Orde Lama' digunakan untuk merujuk pada masa pemerintahan Sukarno, yakni dari tahun 1945 hingga 1965. Penting untuk dicatat, istilah ini tidak muncul pada masa itu, melainkan baru populer setelah Soeharto berkuasa.
Ubedilah Badrun, dalam bukunya "Sistem Politik Indonesia: Kritik dan Solusi Sistem Politik yang Efektif," menyoroti dinamika politik pada masa Konstituante yang diwarnai oleh sepuluh partai politik terbesar hasil Pemilu 1955. Kegagalan Konstituante dalam menghasilkan UUD baru berujung pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Sukarno. Dekrit tersebut berisi pemberlakuan kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.
Dari sudut pandang politik, 'Orde Lama', seperti yang didefinisikan oleh Soeharto, adalah periode yang ditandai dengan kemunduran politik dan kecenderungan ke arah blok Timur, khususnya China dan Uni Soviet. Jika definisi ini yang digunakan, maka periode 'Orde Lama' dapat dipersempit menjadi tahun 1959 hingga 1965, yakni sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga jatuhnya Sukarno pada tahun 1966.
Dengan demikian, dalam perspektif sistem politik Indonesia, 'Orde Lama' merujuk pada tujuh tahun terakhir kekuasaan Sukarno (1959-1966), bukan keseluruhan periode sejak 1945.
Hal senada juga ditegaskan dalam buku "Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia" karya Pdt. Dr. Jan S. Aritonang. Istilah 'Orde Lama' bukan berasal dari pemerintahan atau masyarakat pada periode tersebut, melainkan dari pemerintahan berikutnya, yaitu 'Orde Baru'.