Skandal Kredit Macet Sritex: Dugaan Kongkalikong dan Kerugian Negara Mencuat

Polemik yang melanda PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk, perusahaan tekstil raksasa yang berdiri sejak 1966, memasuki babak baru dengan dugaan pelanggaran hukum terkait pemberian dan pengelolaan kredit. Kasus ini menyeret sejumlah nama, mulai dari mantan direktur utama Sritex hingga pejabat bank BUMN, dan berpotensi menimbulkan kerugian negara yang signifikan.

Anomali Laporan Keuangan dan Dugaan Kongkalikong

Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut dugaan anomali dalam laporan keuangan Sritex. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan adanya fluktuasi keuntungan yang mencurigakan dalam dua tahun terakhir. Meskipun pandemi COVID-19 disebut sebagai salah satu faktor yang memengaruhi kondisi keuangan perusahaan, Kejagung tetap mendalami kemungkinan adanya praktik tidak wajar.

"Ada keganjilan dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan, kemudian tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan," ujar Qohar.

Pada Oktober 2024, Sritex dinyatakan pailit, menambah kelam potret perusahaan yang dulunya menjadi kebanggaan industri tekstil nasional. Lebih dari sekadar masalah internal perusahaan, kasus ini juga menyeret dugaan keterlibatan pihak eksternal, termasuk bank milik pemerintah dan swasta, dalam praktik kongkalikong pemberian kredit.

Kredit Macet Triliunan Rupiah dan Penyalahgunaan Dana

Sritex diketahui terjerat kredit macet senilai Rp 3,5 triliun. Kejagung menduga adanya praktik kolusi antara PT Sritex dan sejumlah bank dalam proses pemberian kredit. Mantan Direktur Utama (Dirut) Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, yang merupakan putra dari pendiri Sritex, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan keterlibatannya dalam praktik kongkalikong tersebut.

Selain Iwan, Kejagung juga menetapkan dua pejabat bank sebagai tersangka, yaitu Direktur Utama Bank DKI Tahun 2020, Zainuddin Mappa (ZM), dan Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB, Dicky Syahbandinata (DS). Mereka diduga memberikan kredit secara melawan hukum, yang berpotensi merugikan keuangan negara.

"Terhadap adanya pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman TBK yang dilakukan secara melawan hukum dan mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara," tegas Qohar.

Kejagung mengungkap bahwa Sritex, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh publik, melaporkan kerugian mencapai USD 1,08 miliar (sekitar Rp 15,65 triliun) pada tahun 2021. Padahal, setahun sebelumnya, perusahaan masih mencatatkan keuntungan sebesar USD 85,32 juta (sekitar Rp 1,24 triliun). Lebih lanjut, dana pinjaman yang seharusnya digunakan untuk modal kerja perusahaan, diduga disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, seperti tanah di Yogyakarta dan Solo.

"Terdapat fakta hukum bahwa dana tersebut tidak dipergunakan sebagaimana tujuan dari pemberian kredit yaitu untuk modal kerja, tetapi disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif, sehingga tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya," jelas Qohar.

Pelanggaran Prosedur dan Penetapan Tersangka

Dalam proses pemberian kredit, Sritex diduga tidak memenuhi syarat yang ditetapkan. Perusahaan hanya memperoleh predikat BB min, yang mengindikasikan risiko gagal bayar pinjaman yang lebih tinggi. Idealnya, pemberian kredit tanpa jaminan hanya diperbolehkan kepada perusahaan dengan peringkat A.

Akibat kredit macet ini, aset perusahaan tidak dapat dieksekusi untuk menutupi kerugian negara, karena nilainya lebih kecil dari nilai pinjaman dan tidak dijadikan jaminan atau agunan.

Kejagung telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu Iwan Setiawan Lukminto, Zainuddin Mappa, dan Dicky Syahbandinata. Mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Penggeledahan dan Penyitaan Barang Bukti

Penyidik Kejagung telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk apartemen di Jakarta Utara, rumah di Solo, Bandung, dan Makassar. Sejumlah barang bukti, seperti laptop, iPad, dan dokumen-dokumen, telah disita dan dinilai berkaitan dengan perkara ini.

Kasus Sritex ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai tata kelola perusahaan, pengawasan perbankan, dan potensi kerugian negara. Proses hukum akan terus berjalan untuk mengungkap kebenaran dan menindak pihak-pihak yang bertanggung jawab.