Perundingan Dagang AS-China Terhenti, Intervensi Tingkat Tinggi Mendesak

Negosiasi Perdagangan AS-China Kembali Menemui Jalan Buntu: Peran Pemimpin Negara Jadi Kunci?

Proses perundingan perdagangan antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China kembali mengalami kemandekan, memicu kekhawatiran akan eskalasi ketegangan ekonomi antara dua negara adidaya tersebut. Scott Bessent, Menteri Keuangan AS, mengungkapkan bahwa pembicaraan bilateral mengalami stagnasi, dan mengindikasikan perlunya keterlibatan langsung dari Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden China, Xi Jinping, untuk membuka kembali jalur komunikasi dan mencari solusi konstruktif.

"Saya yakin dalam beberapa minggu mendatang, kita akan menyaksikan intensifikasi dialog dengan pihak China," ujar Bessent dalam sebuah wawancara eksklusif. Ia juga menambahkan, "Tidak menutup kemungkinan akan terjadi percakapan langsung antara kedua pemimpin negara dalam waktu dekat."

Sebelumnya, tensi antara AS dan China sempat mereda setelah tercapainya kesepakatan perdagangan pada pertemuan di Swiss. Dalam pertemuan itu, kedua negara sepakat untuk menangguhkan implementasi tarif tambahan yang telah dinaikkan secara signifikan, hingga lebih dari 100 persen. Penangguhan tarif ini dijadwalkan berlangsung selama 90 hari, atau hingga pertengahan Agustus.

Namun, proses perdamaian yang diupayakan ternyata tidak berjalan mulus. Pemerintah AS tetap mempertahankan pembatasan terhadap transfer teknologi ke China, sementara Beijing bersikeras mempertahankan pembatasan ekspor tanah jarang, material strategis yang krusial dalam produksi elektronik dan peralatan militer. AS berharap China dapat melonggarkan kebijakan ini.

Bessent menekankan bahwa isu-isu kompleks ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui jalur diplomasi teknis. "Dengan kompleksitas dan cakupan masalah yang ada, saya percaya komunikasi langsung antara kedua pemimpin negara menjadi sangat penting," tegasnya. "Mereka memiliki hubungan yang baik, dan saya optimis bahwa China akan kembali ke meja perundingan ketika Presiden Trump secara jelas menyampaikan posisinya."

Terakhir kali Trump dan Xi Jinping berbicara adalah pada bulan Januari, sesaat sebelum Trump dilantik kembali untuk periode jabatan keduanya. Trump baru-baru ini menyatakan keinginannya untuk kembali berdialog dengan Xi. Namun, para analis meyakini bahwa Beijing akan enggan menyetujui pertemuan tersebut tanpa adanya jaminan dari AS bahwa tidak akan ada langkah-langkah tak terduga yang dapat mengganggu proses negosiasi.

China mengklaim bahwa komunikasi dengan Washington tetap terjaga. Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, He Yongqian, menyatakan bahwa kedua negara tetap menjalin kontak sejak tercapainya kesepakatan di Swiss. Namun, terkait dengan kontrol ekspor chip, China kembali mendesak perubahan sikap dari AS.

"China mendesak AS untuk segera mengoreksi praktik-praktik keliru mereka dan menghormati konsensus yang telah dicapai pada pertemuan tingkat tinggi di Jenewa," kata He, seperti dikutip dari terjemahan resmi pernyataan tersebut.

Ketika ditanya mengenai kemungkinan pembukaan kembali ekspor tanah jarang, He tidak memberikan jawaban yang tegas. Ia hanya menyatakan bahwa pembatasan terhadap barang-barang strategis, yang berpotensi digunakan untuk keperluan militer dan sipil, merupakan bagian dari praktik internasional dan mencerminkan posisi China dalam menjaga perdamaian dunia dan stabilitas regional.

Selain itu, ketegangan juga meningkat seiring dengan keputusan pemerintah AS untuk mencabut visa bagi sejumlah pelajar China. "Keputusan AS untuk mencabut visa pelajar China sama sekali tidak dapat dibenarkan," tegas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning. "Mereka menggunakan alasan ideologi dan keamanan nasional sebagai dalih."