Gaya Hidup Mewah Hakim Picu Risiko Korupsi, Pukat UGM Soroti Standar Baru di Lingkungan Peradilan

Praktisi hukum dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti potensi bahaya gaya hidup hedonis di kalangan hakim. Menurutnya, perilaku tersebut dapat memicu lingkungan peradilan yang korup.

Zaenurrohman dari Pukat UGM menjelaskan bahwa kecenderungan seorang hakim untuk bergaya hidup mewah dapat dengan mudah ditiru oleh rekan-rekannya di lingkungan kerja yang sama. Hal ini, lanjutnya, berpotensi menciptakan standar gaya hidup baru yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial yang bersumber dari pendapatan yang sah.

"Standar hidup yang tinggi ini, pada akhirnya, dapat mendorong terciptanya lingkungan yang korup, di mana para hakim menjadi lebih rentan terhadap praktik suap," ujar Zaenurrohman.

Lebih lanjut, Zaenurrohman menjelaskan bahwa gaya hidup mewah membutuhkan biaya yang besar. Jika pengeluaran tersebut melebihi pendapatan yang sah, maka hakim berpotensi tergoda untuk mencari sumber pendapatan tambahan yang tidak halal, seperti menerima suap.

Oleh karena itu, Zaenurrohman menilai positif peringatan keras yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto terhadap para hakim yang gemar memamerkan gaya hidup mewah. Peringatan tersebut, menurutnya, merupakan upaya untuk mengingatkan para hakim akan risiko yang ditimbulkan oleh perilaku hedonis.

"Seorang pejabat, terutama seorang hakim, yang mempertontonkan gaya hidup hedonis akan menimbulkan berbagai risiko yang merugikan citra lembaga peradilan," tegas Zaenurrohman.

Namun demikian, Zaenurrohman mengingatkan bahwa peringatan terhadap gaya hidup hedonis bukanlah solusi tunggal untuk mengatasi masalah korupsi di MA dan badan peradilan di bawahnya. Ia mencontohkan kasus mantan pejabat MA, Zarof Ricar, yang menyimpan uang dan emas senilai hampir satu triliun rupiah di rumahnya, serta kasus hakim yang menyembunyikan uang miliaran rupiah di kolong kasur.

"Nasihat untuk tidak bergaya hidup hedonis adalah langkah yang tepat dan bijaksana, namun bukan merupakan jawaban komprehensif atas masalah korupsi yang terjadi di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya," imbuhnya.

Sebelumnya, Ketua MA Sunarto telah memberikan peringatan keras kepada para hakim untuk tidak menerapkan gaya hidup hedonis, seperti menggunakan barang-barang bermerek dan mobil mewah. Sunarto menilai gaya hidup tersebut tidak sesuai dengan pendapatan sah yang diterima hakim dari negara.

Peringatan ini disampaikan Sunarto dalam kegiatan pembinaan pimpinan hingga hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi se-Jakarta. Ia bahkan secara terbuka menyindir hakim yang bergaji puluhan juta rupiah namun menggunakan barang-barang mewah dengan harga yang fantastis.

"Gajinya Rp 27 juta, Rp 23 juta, pakai LV (Louis Vuitton), pakai Bally, pakai Porsche, enggak malu," ujar Sunarto.

Sunarto juga menambahkan bahwa publik mengetahui dengan pasti berapa gaji yang diterima oleh hakim dan berapa harga barang-barang mewah yang mereka gunakan. "Arlojinya Rp 1 miliar. Kok enggak malu?" sindirnya.