Dolar AS Berjuang di Tengah Bayang-Bayang Inflasi dan Kebijakan Tarif Trump yang Kontroversial
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan pada akhir pekan, terbebani oleh kekhawatiran pasar terhadap arah kebijakan perdagangan dan kondisi fiskal negara tersebut. Dolar AS mencatatkan penurunan bulanan kelima berturut-turut, dengan pelaku pasar menantikan rilis data inflasi yang diperkirakan akan memengaruhi kebijakan moneter selanjutnya.
Pergerakan dolar AS diwarnai ketidakpastian setelah pengadilan federal memulihkan sementara kebijakan tarif besar-besaran yang diberlakukan oleh mantan Presiden Donald Trump. Putusan ini muncul sehari setelah pengadilan lain memutuskan untuk memblokir tarif tersebut. Trump menanggapi situasi ini dengan menyatakan harapannya agar Mahkamah Agung membatalkan keputusan pengadilan perdagangan, dan mengisyaratkan kemungkinan menggunakan kewenangan eksekutif lain untuk tetap memberlakukan tarif. Ketidakpastian seputar tarif ini mendorong investor untuk menarik dana dari aset AS dan mencari alternatif investasi yang dianggap lebih aman dan menjanjikan imbal hasil yang lebih menarik.
"Berita ini membuat AS menjadi tempat yang kurang menarik bagi investor asing," ujar seorang analis valuta asing dari Societe Generale. Meskipun demikian, investor diperkirakan akan tetap selektif dan menuntut insentif yang lebih besar, seperti imbal hasil yang tinggi atau nilai tukar yang lebih kompetitif.
Pada hari Jumat, nilai tukar euro terhadap dolar AS berada di kisaran USD 1,1331, sementara franc Swiss stabil di posisi 0,8243 per dolar AS. Meskipun menguat tipis, dolar AS mencatatkan penurunan bulanan terhadap euro, franc Swiss, dan pound sterling.
Data klaim pengangguran mingguan serta pertumbuhan ekonomi AS yang dirilis sebelumnya tidak mampu meredakan kekhawatiran pasar terhadap risiko perlambatan ekonomi. Fokus investor kini tertuju pada data inflasi pilihan bank sentral AS, Federal Reserve, yaitu laporan pengeluaran konsumsi pribadi (Personal Consumption Expenditures/PCE) yang akan dirilis. Kekhawatiran atas kondisi fiskal di negara-negara maju, termasuk AS dan Jepang, juga menambah tekanan pada dolar AS. Ketertarikan investor terhadap surat utang baru dengan tenor panjang di kedua negara tersebut terpantau menurun.
Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia, sempat naik tipis, namun masih mencatatkan penurunan bulanan. Sementara itu, investor mulai melirik aset di negara berkembang, dengan indeks mata uang pasar berkembang mencatatkan kenaikan tertinggi dalam beberapa bulan terakhir.
Di sisi lain, nilai tukar yen Jepang stabil di kisaran 144,05 per dolar AS, setelah data menunjukkan inflasi inti di Tokyo naik ke level tertinggi dalam lebih dari dua tahun. Kenaikan ini membuka kemungkinan Bank of Japan (BOJ) kembali menaikkan suku bunga. Namun, yen tetap mencatatkan penurunan bulanan pertama terhadap dolar AS sejak awal tahun.
Pasar juga mencermati perkembangan kesepakatan dagang menjelang tenggat waktu yang ditetapkan Trump sebagai batas waktu penerapan tarif tambahan. Ekonom memperkirakan inflasi AS berdasarkan data PCE akan mengalami sedikit penurunan, namun kenaikan tarif impor oleh pemerintahan Trump diperkirakan akan terus mendorong lonjakan harga hingga akhir tahun.
Berikut daftar mata uang yang terpengaruh:
- Euro
- Franc Swiss
- Pound Sterling
- Yen Jepang
- Dolar Australia
- Dolar Selandia Baru
Dolar Australia dan dolar Selandia Baru juga mengalami pelemahan terhadap dolar AS.