Eks Wakapolri Desak Penyelidikan Suap Pra-Jabatan Seiring Percepatan RUU KUHAP

Mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri), Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) Oegroseno, menyoroti celah hukum dalam penanganan kasus korupsi, khususnya yang melibatkan penerimaan suap sebelum seseorang menjabat sebagai pejabat publik. Pernyataan ini muncul di tengah upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Dalam diskusi bertajuk “RUU KUHAP dan Repositioning Penyidikan Polri” yang disiarkan melalui kanal Youtube Tprent_Id, Oegroseno mengangkat contoh kasus penerimaan uang senilai Rp 27 miliar oleh seseorang yang saat itu belum menduduki jabatan publik. Ia mempertanyakan status hukum orang tersebut, apakah dapat dikategorikan sebagai tersangka atau tidak, mengingat tindak pidana tersebut terjadi sebelum yang bersangkutan menjadi pejabat.

Oegroseno menjelaskan, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) secara spesifik mengatur tentang pejabat negara yang menerima suap. Jika penerimaan uang terjadi sebelum masa jabatan, maka pasal-pasal dalam UU Tipikor sulit diterapkan. Namun, ia berpendapat bahwa pejabat yang menerima uang tersebut dapat dijerat dengan Pasal 480 atau 481 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penerimaan barang hasil kejahatan atau penadahan.

Lebih lanjut, Oegroseno menilai bahwa setiap tindak pidana korupsi mengandung unsur tindak pidana umum. Keberadaan dua jenis tindak pidana ini justru dapat menghambat kerja penyidik dari Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia mencontohkan, jika terdapat unsur Tipikor dan pidana umum dalam KUHP, penyidik KPK atau Kejaksaan Agung tidak dapat menanganinya secara optimal.

Menyikapi kondisi ini, Oegroseno mendorong kepolisian untuk lebih proaktif dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. Ia berpendapat, sejak UU KPK diterbitkan, praktik korupsi masih marak terjadi. Percepatan pembahasan RUU KUHAP oleh DPR menjadi momentum penting untuk memperkuat sistem hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengungkapkan bahwa DPR telah memberikan izin untuk menggelar rapat dengar pendapat dan pembahasan revisi KUHAP selama masa reses. Langkah ini diambil untuk mempercepat penyelesaian RUU KUHAP, yang menjadi acuan bagi pembahasan dua rancangan undang-undang lainnya, yaitu RUU Perampasan Aset dan Revisi UU Polri.

Berikut adalah poin-poin yang disoroti dalam pernyataan Oegroseno:

  • Celah Hukum: Penerimaan suap sebelum menjabat sebagai pejabat publik.
  • UU Tipikor: Pasal-pasal sulit diterapkan jika suap diterima sebelum masa jabatan.
  • Pasal KUHP: Pasal 480 atau 481 KUHP tentang penerimaan barang hasil kejahatan dapat digunakan.
  • Peran Polri: Mendorong kepolisian lebih aktif dalam mengungkap kasus korupsi.
  • RUU KUHAP: Percepatan pembahasan untuk memperkuat pemberantasan korupsi.

Percepatan pembahasan RUU KUHAP diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Revisi ini diharapkan dapat menjembatani celah hukum yang ada dan memberikan landasan yang lebih kuat bagi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi, termasuk yang melibatkan penerimaan suap sebelum seseorang menjabat sebagai pejabat publik.