Gelombang Demonstrasi Mengguncang Kathmandu: Ribuan Warga Nepal Serukan Restorasi Monarki
Ribuan demonstran turun ke jalan-jalan di Kathmandu, Nepal, pada hari Kamis, menyuarakan tuntutan yang mengejutkan: pemulihan sistem monarki yang telah dihapuskan lebih dari satu dekade lalu. Aksi unjuk rasa besar-besaran ini menjadi sorotan tajam, mencerminkan perpecahan mendalam di antara warga Nepal mengenai bentuk pemerintahan yang ideal.
Sejak transisi Nepal menjadi republik pada tahun 2008, negara tersebut telah dipimpin oleh seorang presiden. Namun, sebagian masyarakat kini terang-terangan menyatakan kekecewaan mereka terhadap pemerintahan yang ada dan menyerukan kembalinya sistem kerajaan, dengan harapan agar Hindu ditetapkan kembali sebagai agama resmi negara.
"Kembalikan raja ke tahtanya dan selamatkan negara," teriak para demonstran dengan penuh semangat. "Kami mencintai raja kami lebih dari nyawa kami!" Slogan-slogan ini bergema di seluruh ibu kota, mencerminkan kerinduan yang mendalam akan stabilitas dan identitas nasional yang lebih kuat.
Gyanendra Shah, mantan raja Nepal yang kini berusia 77 tahun, masih menjadi sosok yang dihormati oleh para pendukung monarki. Selama 239 tahun, sistem monarki telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Nepal, sebelum akhirnya Shah digulingkan.
Namun, demonstrasi ini tidak hanya didorong oleh nostalgia atau sentimen keagamaan. Banyak peserta aksi yang mengungkapkan rasa frustrasi mereka terhadap elit politik Nepal dan kondisi ekonomi negara yang memprihatinkan. Tingginya angka pengangguran telah memaksa banyak warga Nepal untuk mencari pekerjaan di luar negeri, seperti di Uni Emirat Arab, Korea Selatan, dan Malaysia, mengirimkan remitansi untuk menghidupi keluarga mereka di kampung halaman.
Di tengah hiruk pikuk demonstrasi pro-monarki, kelompok pendukung status quo republik juga menggelar aksi tandingan. Perdana Menteri Khadga Prasad Oli, yang mewakili kubu pro-republik, menegaskan komitmennya terhadap sistem pemerintahan saat ini.
Untuk mencegah bentrokan antara kedua kelompok yang berseberangan, ratusan polisi anti huru hara dikerahkan di ibu kota. Insiden serupa pada bulan Maret lalu telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa, sehingga pihak berwenang berupaya keras untuk menjaga ketertiban dan keamanan.
Meskipun dukungan terhadap monarki masih ada di sebagian masyarakat Nepal, tiga partai politik utama yang menguasai mayoritas kursi di parlemen menolak gagasan tersebut. Partai Rastriya Prajatantra, satu-satunya partai yang secara terbuka mendukung monarki, hanya memiliki 13 dari 275 kursi di parlemen, sehingga pengaruhnya terhadap arah politik nasional sangat terbatas.
Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Tuntutan: Demonstran menuntut pemulihan sistem monarki dan penetapan Hindu sebagai agama resmi negara.
- Motivasi: Aksi unjuk rasa didorong oleh kekecewaan terhadap pemerintahan yang ada, kondisi ekonomi yang memburuk, dan kerinduan akan stabilitas.
- Oposisi: Partai-partai politik utama di Nepal menolak gagasan pemulihan monarki.
- Kekuatan Politik: Partai pendukung monarki hanya memiliki sedikit kursi di parlemen.
- Respon Pemerintah: Pemerintah mengerahkan polisi untuk mencegah bentrokan antara kelompok pro-monarki dan pro-republik.
Demonstrasi pro-monarki di Kathmandu ini menjadi pengingat bahwa transisi politik di Nepal masih belum selesai. Masa depan negara Himalaya ini akan sangat bergantung pada kemampuan para pemimpin politik dan masyarakat untuk mencapai konsensus mengenai bentuk pemerintahan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat Nepal.