Komisi X DPR RI Usulkan Pengecualian Sekolah Swasta Premium dari Kebijakan Pendidikan Dasar Gratis Pasca Putusan MK
Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyampaikan pandangannya terkait implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan pembiayaan pendidikan dasar oleh negara tanpa pungutan biaya. Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifuddin, berpendapat bahwa sekolah swasta yang menawarkan layanan pendidikan premium sebaiknya dikecualikan dari ketentuan tersebut.
Hetifah menjelaskan bahwa putusan MK, yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), perlu diinterpretasikan dengan mempertimbangkan keberagaman karakteristik sekolah swasta di Indonesia. Menurutnya, tidak semua sekolah swasta memiliki profil yang sama. Sebagian sekolah swasta hadir untuk menjangkau wilayah-wilayah yang belum terlayani oleh pemerintah, sementara sebagian lainnya menawarkan layanan pendidikan dan fasilitas berstandar tinggi dengan biaya yang lebih mahal.
"Ada sekolah-sekolah swasta yang betul-betul ada karena tidak bisa pemerintah hadir di sana, jadi mereka betul-betul mengisi kekosongan. Tapi ada juga sekolah swasta yang memberikan pelayanan premium atau pelayanan khusus," ujarnya.
Hetifah mencontohkan perbedaan fasilitas yang mungkin ditawarkan oleh sekolah swasta premium, seperti penggunaan pendingin ruangan (AC) dan fasilitas lainnya yang tidak tersedia di sekolah negeri pada umumnya. Hal ini, menurutnya, menjadi justifikasi bagi sekolah swasta untuk memungut iuran yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, Hetifah menyoroti bahwa banyak orang tua secara sadar memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta premium bukan karena tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri, melainkan karena menginginkan kualitas layanan yang berbeda.
"Jadi bukan karena tidak kebagian sekolah negeri. Tapi memang dia ingin mendapatkan pelayanan yang berbeda, yang tadi premium atau khusus tadi," kata Hetifah.
Oleh karena itu, Hetifah berpendapat bahwa tidaklah adil jika masyarakat yang secara sukarela memilih layanan pendidikan premium mengharapkan seluruh biayanya ditanggung oleh negara.
"Jadi kan itu tidak mungkin (digratiskan)," tegasnya.
Putusan MK sendiri merupakan respons terhadap gugatan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) terkait frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas. MK berpendapat bahwa frasa tersebut hanya berlaku untuk sekolah negeri, sehingga menimbulkan potensi kesenjangan akses pendidikan dasar bagi peserta didik yang bersekolah di sekolah swasta karena keterbatasan kuota di sekolah negeri.
MK menekankan bahwa norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar yang diselenggarakan baik oleh pemerintah (negeri) maupun masyarakat (swasta). MK juga menyoroti pentingnya alokasi anggaran pendidikan yang efektif dan adil oleh negara dalam implementasi ketentuan tersebut.
Implikasi dari putusan MK ini dan pandangan Komisi X DPR RI masih akan terus bergulir dan membutuhkan pembahasan lebih lanjut untuk mencapai solusi yang komprehensif dan berkeadilan bagi seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan Indonesia.