Implikasi Putusan MK, Sekolah Swasta di Surabaya Ajukan Syarat untuk Pendidikan Gratis

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pendidikan gratis di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta menuai beragam tanggapan. Kalangan pengelola SMP swasta di Surabaya menyatakan dukungan terhadap putusan tersebut, namun dengan sejumlah catatan penting.

Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Swasta Surabaya menekankan bahwa implementasi putusan MK harus diiringi dengan kebijakan teknis yang komprehensif, yang mampu mendukung keberlangsungan ekosistem sekolah swasta. Kekhawatiran utama yang muncul adalah terkait pembiayaan operasional sekolah, termasuk gaji tenaga pendidik dan karyawan, serta pengadaan alat tulis kantor (ATK).

"Jika kebijakan ini berlaku untuk seluruh siswa, pertanyaannya adalah siapa yang akan menanggung biaya operasional siswa, gaji pendidik, dan lain sebagainya?" ujar Wiwik Wahyuningsih, Wakil Ketua MKKS SMP Swasta Surabaya. Ia menjelaskan bahwa selama ini, sekolah swasta mengandalkan berbagai sumber pendanaan untuk menutupi biaya operasional, termasuk iuran siswa dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Menurut data Dinas Pendidikan Surabaya, terdapat sekitar 267 SMP swasta di Surabaya, jauh lebih banyak dibandingkan dengan 63 SMP negeri. Setiap tahunnya, SMP swasta menampung sekitar 20.000 lulusan SD, melebihi kapasitas SMP negeri yang hanya sekitar 18.000 siswa.

Biaya operasional masing-masing sekolah swasta bervariasi, tergantung pada kekuatan anggaran masing-masing. Dengan jumlah tenaga pendidik yang bisa mencapai 20 orang per sekolah, termasuk guru mata pelajaran, guru BK, kepala sekolah, penjaga perpustakaan dan laboratorium, serta tenaga administrasi, biaya gaji saja bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulan.

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima sekolah saat ini dinilai belum mencukupi untuk menutupi seluruh biaya operasional. Dengan nilai sekitar Rp 1,2 juta per tahun atau Rp 100.000 per bulan per siswa, BOS hanya mampu menutupi sebagian kecil dari kebutuhan sekolah.

"Jika dalam satu sekolah ada 100 murid, artinya setiap bulan sekolah hanya menerima Rp 10 juta. Sedangkan kebutuhan untuk gaji saja bisa mencapai Rp 20 juta sebulan. Lantas gaji gurunya dari mana? Belum lagi bayar listriknya, beli ATK (alat tulis kantor), operasional lainnya, terus dari mana? Kalau memang pemerintah mau meng-cover semuanya, it's oke," tegas Wiwik.

Untuk mengatasi masalah ini, MKKS SMP Swasta Surabaya mengusulkan agar pemerintah memprioritaskan siswa dari keluarga kurang mampu untuk bersekolah di sekolah negeri, sehingga intervensi pendidikan dapat diberikan secara penuh. Kuota afirmasi bagi warga miskin (gamis) pada Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) dapat ditingkatkan.

Bagi siswa dari keluarga non-miskin, mereka dapat memilih lembaga swasta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Wiwik menekankan bahwa sekolah swasta akan kesulitan jika seluruh biaya operasional harus ditanggung oleh pemerintah, terutama jika hanya mengandalkan bantuan operasional yang saat ini dinilai masih sangat minim.

"Prinsipnya, kami setuju kalau memang SMP swasta digratiskan. Namun dengan catatan, kami minta semua gaji pegawai, biaya operasional, alat tulis, dan sebagainya juga harus ditanggung pemerintah," pungkasnya.

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu tindak lanjut dari putusan MK Nomor 3/PUU-XXIII/2025. Ia mengakui bahwa dibutuhkan anggaran yang cukup besar untuk menggratiskan seluruh sekolah swasta.

Saat ini, Pemkot Surabaya baru memberikan intervensi kepada siswa dari keluarga miskin dan pra-miskin. Eri berharap agar masyarakat yang mampu dapat bergotong royong untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Surabaya, total penerima bantuan pendidikan gamis/pragamis di Surabaya mencapai sekitar 54.000 siswa, tersebar di berbagai jenjang dan jenis sekolah. Dari jumlah tersebut, sekitar 5.400 siswa merupakan siswa SMP swasta.

Untuk mendukung berbagai program pendidikan, Pemkot Surabaya mengalokasikan belanja fungsi pendidikan sebesar Rp 2,588 triliun atau sekitar 20,96 persen dari total APBD 2025 yang mencapai Rp 12,3 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2,335 triliun disalurkan melalui Dinas Pendidikan.

Selain menggunakan anggaran pemerintah, banyak sekolah swasta di Surabaya yang mandiri tanpa mengharap bantuan karena masing-masing siswa berasal dari keluarga mampu. Ada pula program Pemkot Surabaya memberikan intervensi melalui pola CSR dengan program Orang Tua Asuh.

Ketua MK Suhartoyo menegaskan bahwa frasa "tanpa memungut biaya" harus dimaknai berlaku bagi seluruh satuan pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta. Pemerintah pusat dan daerah diminta untuk menjamin akses pendidikan dasar gratis secara merata.