KPK Dorong Standarisasi Pendidikan Hukum bagi Penyelidik dan Penyidik Melalui RUU KUHAP
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan perubahan signifikan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Usulan utama yang diajukan adalah persyaratan pendidikan minimal Sarjana Hukum (S-1) bagi seluruh penyelidik dan penyidik.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menekankan pentingnya standarisasi pendidikan hukum bagi aparat penegak hukum. Menurutnya, hal ini akan meningkatkan kualitas dan profesionalisme dalam proses penegakan hukum pidana. "Penyelidik dan penyidik harus berpendidikan serendah-rendahnya strata satu atau S-1 ilmu hukum sehingga seluruh aparat penegak hukum berlatar belakang pendidikan S-1 ilmu hukum," ujarnya.
Usulan ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa saat ini, persyaratan pendidikan Sarjana Hukum belum menjadi keharusan bagi penyelidik dan penyidik. Sementara itu, profesi lain dalam sistem peradilan pidana, seperti advokat, jaksa, dan hakim, telah lama mensyaratkan pendidikan hukum yang memadai.
Selain isu kualifikasi pendidikan, KPK juga mengusulkan beberapa poin penting lainnya dalam RUU KUHAP, antara lain:
- Penghapusan Peran Penyidik Pembantu: KPK menilai peran penyidik pembantu sudah tidak relevan dengan perkembangan sistem peradilan pidana saat ini.
- Kepastian Hukum dalam Tenggat Waktu Penyidikan dan Persidangan: Usulan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana, baik tersangka, korban, maupun masyarakat umum. Tenggat waktu yang jelas dan tegas diharapkan dapat meminimalisir praktik penundaan berlarut-larut dalam penanganan perkara.
- Pengaturan Tenggat Waktu Penuntutan: KPK juga mengusulkan agar tenggat waktu penanganan perkara pada tahap penuntutan diatur secara jelas dan tegas. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses peradilan dan menghindari penumpukan perkara.
- Perlindungan terhadap Pelapor: Usulan ini bertujuan untuk memberikan jaminan keamanan dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang berani melaporkan tindak pidana korupsi. Perlindungan yang memadai diharapkan dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tanak menjelaskan bahwa usulan-usulan tersebut diajukan dengan mempertimbangkan perkembangan zaman dan kebutuhan reformasi sistem peradilan pidana. Menurutnya, KUHAP yang berlaku saat ini merupakan produk hukum era orde lama yang sudah tidak relevan dengan dinamika masyarakat dan perkembangan hukum saat ini. Dengan adanya perubahan KUHAP, diharapkan sistem peradilan pidana di Indonesia dapat menjadi lebih modern, efisien, dan berkeadilan.
KPK berharap usulan-usulan ini dapat dipertimbangkan secara serius oleh Komisi III DPR RI yang saat ini sedang membahas RUU KUHAP. KPK juga membuka diri untuk berdiskusi dan memberikan masukan konstruktif dalam proses pembahasan RUU KUHAP, demi terwujudnya sistem peradilan pidana yang lebih baik di Indonesia.