Kenaikan Suku Bunga KPR Floating: Strategi Adaptasi Seorang Kepala Keluarga di Tangerang

Tommy, seorang karyawan swasta berusia 35 tahun yang tinggal di Tangerang, kini merasakan dampak dari berakhirnya masa bunga tetap pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang ia ambil pada tahun 2019. Setelah lima tahun menikmati cicilan dengan suku bunga flat, memasuki Januari 2025, cicilannya berubah menjadi sistem floating yang berimbas pada kenaikan signifikan.

Keputusan untuk mengambil KPR ini sebenarnya sudah dipikirkan matang-matang oleh Tommy. Awalnya, ia sempat melirik rumah baru dari pengembang, namun pada akhirnya memilih rumah second karena pertimbangan harga dan lokasi yang lebih sesuai dengan kebutuhannya. Pinjaman KPR yang ia ambil menawarkan bunga tetap sebesar 8 persen selama lima tahun dengan tenor 20 tahun. Tommy berharap, selama masa bunga tetap tersebut, pendapatannya akan meningkat sehingga mampu mengantisipasi potensi kenaikan di kemudian hari.

Selama masa bunga flat, Tommy membayar cicilan sekitar Rp 2,6 juta per bulan. Namun, ketika memasuki sistem bunga floating, suku bunga melonjak menjadi 13,5 persen, yang mengakibatkan cicilannya membengkak menjadi sekitar Rp 3,4 juta per bulan. Kenaikan sekitar Rp 800 ribu per bulan ini tentu saja memengaruhi kondisi keuangan keluarganya.

Sebagai kepala keluarga dengan satu anak berusia lima tahun, Tommy menyadari bahwa kenaikan suku bunga KPR floating adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi. Ia sudah mengantisipasi kemungkinan ini dengan mencari penghasilan tambahan sebelum masa bunga floating berlaku. Meskipun cicilan saat ini masih bisa ia bayar, Tommy menyadari bahwa kenaikan bunga di masa depan bisa semakin membebani keuangannya. Oleh karena itu, ia mulai mempertimbangkan beberapa strategi untuk meringankan beban cicilan.

  • Pelunasan sebagian (partial payment): Jika memiliki dana lebih, Tommy berencana untuk melakukan pelunasan sebagian pokok pinjaman. Hal ini diharapkan dapat mengurangi jumlah cicilan di masa depan.
  • Refinancing ke bank lain: Tommy juga membuka opsi untuk memindahkan KPR-nya ke bank lain yang menawarkan suku bunga lebih rendah. Namun, ia menyadari bahwa proses ini cukup rumit dan membutuhkan biaya tambahan. Selain itu, ia juga harus siap meluangkan waktu dan tenaga untuk mengurus proses administrasi yang diperlukan.

Tommy mengakui bahwa memindahkan KPR ke bank lain bukanlah perkara mudah. Ia telah melihat temannya melakukan hal serupa dan menyadari bahwa meskipun mendapatkan bunga yang lebih rendah, ada harga yang harus dibayar berupa kerepotan dalam proses pengurusan. Namun, jika kondisi keuangan semakin tertekan, opsi ini tetap menjadi pertimbangan serius.

Di tengah tantangan kenaikan cicilan, Tommy tetap bersyukur telah mengambil KPR. Ia meyakini bahwa keputusan ini penting untuk masa depan keluarganya. Jika ia masih lajang, mungkin ia tidak akan terburu-buru mengambil KPR. Namun, sebagai seorang suami dan ayah, memiliki rumah sendiri adalah kebutuhan yang mendesak.

Kisah Tommy adalah cerminan dari banyak keluarga muda di Indonesia yang berjuang untuk memiliki rumah impian di tengah dinamika suku bunga KPR. Strategi adaptasi yang ia lakukan, mulai dari mencari penghasilan tambahan hingga mempertimbangkan pelunasan sebagian atau refinancing, adalah upaya untuk menjaga stabilitas keuangan keluarga dan mewujudkan impian memiliki tempat tinggal yang nyaman dan aman.