Perlindungan Hukum Perempuan di Era Majapahit: Hak Gugat Cerai Akibat Impotensi dan Kondisi Medis Lainnya

Hukum Majapahit: Pembelaan Hak Wanita dalam Pernikahan

Kerajaan Majapahit, yang mencapai puncak kejayaannya antara tahun 1293 hingga 1527, ternyata telah memiliki sistem hukum yang cukup progresif. Salah satu aspek yang menarik adalah adanya perlindungan terhadap hak-hak perempuan dalam perkawinan, sebagaimana tertuang dalam kitab undang-undang bernama Agama. Naskah kuno ini mengungkap bahwa perempuan pada masa itu memiliki hak untuk menggugat cerai suami dengan alasan tertentu.

Menurut Titi Surti Nastiti, seorang peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional BRIN, kitab Agama mengatur secara detail hak perempuan dalam perkawinan. Salah satu poin penting adalah hak seorang istri untuk mengajukan gugatan cerai jika suaminya impoten atau menderita penyakit tertentu yang menghalangi hubungan suami istri. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Majapahit telah mempertimbangkan aspek kesehatan dan kebahagiaan perempuan dalam rumah tangga.

Kitab Agama yang terdiri dari 272 pasal, juga membahas tentang "tukon", yaitu semacam mahar atau barang pemberian dari calon mempelai pria kepada pihak wanita sebagai tanda pengikat. Bab ini mengatur secara rinci tentang ketentuan pemberian tukon, sanksi jika perjanjian dilanggar, serta hak-hak perempuan jika mendapati suaminya impoten atau menderita penyakit kulit seperti budug (kudis). Dijelaskan bahwa seorang gadis berhak membatalkan perkawinan jika setelah menikah diketahui bahwa suaminya impoten, bukan laki-laki sejati, atau menderita penyakit menular yang berbahaya. Dalam kasus seperti itu, sang suami wajib mengembalikan tukon tanpa penggandaan.

Hal menarik lainnya adalah pengaturan mengenai pengkhianatan dalam pertunangan. Kitab Agama mengatur hukuman bagi pihak yang melanggar janji pernikahan setelah tukon diberikan. Misalnya, jika orang tua gadis membatalkan pernikahan dan menikahkan putrinya dengan pria lain, mereka wajib mengembalikan tukon dua kali lipat dan membayar denda kepada raja. Sebaliknya, jika pihak perempuan yang menolak melanjutkan pernikahan, ia wajib mengembalikan tukon yang telah diterima dua kali lipat.

Kitab ini juga membahas situasi di mana seorang gadis telah menerima tukon namun kemudian meninggal dunia. Dalam kasus ini, tukon tidak perlu dikembalikan. Selain itu, Agama juga mengatur tentang perampasan kehormatan, yaitu ketika seorang pemuda telah memberikan tukon dan menyepakati tanggal pernikahan, namun ternyata telah melakukan hubungan seksual dengan gadis tersebut sebelum pernikahan. Perbuatan ini dianggap sebagai pelanggaran, dan pemuda tersebut akan didenda oleh raja.

Kitab Agama juga mengatur tentang dewahara dan wereh wereh, yaitu situasi ketika seorang gadis telah menerima tukon dari seorang pemuda yang kemudian meninggal dunia. Dalam kasus ini, gadis tersebut diperbolehkan untuk menikah dengan adik laki-laki dari pemuda yang telah meninggal.

Pengaturan hukum yang terdapat dalam kitab Agama memberikan gambaran tentang betapa majunya peradaban Majapahit dalam melindungi hak-hak perempuan. Hukum ini tidak hanya mengatur tentang aspek materi dalam perkawinan, tetapi juga memperhatikan aspek kesehatan, kebahagiaan, dan kehormatan perempuan.

Daftar Kata dalam Format Markdown

  • Majapahit
  • Hukum
  • Perempuan
  • Pernikahan
  • Cerai
  • Impotensi
  • Agama (Kitab Undang-Undang)
  • Tukon
  • Hak Perempuan
  • Perlindungan Hukum
  • BRIN
  • Perjanjian
  • Pengkhianatan
  • Denda
  • Kehormatan