Menimbang Diplomasi: Untung Rugi Jalin Hubungan dengan Israel bagi Indonesia
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan wacana pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel pada kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia, Rabu, 28 Mei 2025. Pernyataan ini memicu perdebatan publik luas, terutama di media sosial. Prabowo menekankan dukungan terhadap solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan perdamaian antara Israel dan Palestina, selaras dengan amanat konstitusi UUD 1945. Reaksi publik terpecah, dengan sebagian mendukung dan sebagian menolak, menganggap pengakuan Palestina saja tidak cukup. Beberapa pihak menafsirkan pernyataan Prabowo sebagai dukungan terhadap agresi Israel di Gaza, padahal sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang menjunjung kemerdekaan semua bangsa, termasuk Palestina.
Namun, implikasi pengakuan Israel perlu dipertimbangkan secara matang. Membuka hubungan diplomatik dapat membawa keuntungan sekaligus kerugian. Berikut analisis mendalam mengenai potensi keuntungan dan kerugian bagi Indonesia jika hubungan diplomatik dengan Israel terjalin:
Potensi Keuntungan:
- Kerja Sama Ekonomi: Indonesia telah lama menjalin hubungan dagang tidak resmi dengan Israel. BPS mencatat ekspor Indonesia ke Israel pada Januari 2025 mencapai 22,08 juta dollar AS, didominasi kakao, sementara impor dari Israel berupa produk farmasi. Pembukaan hubungan diplomatik berpotensi memperluas pasar dan meningkatkan nilai ekspor. AS juga menawarkan investasi tambahan jika Indonesia menormalisasi hubungan dengan Israel.
- Kerja Sama Pertahanan: Israel dikenal dengan teknologi dan industri senjata mutakhir. Indonesia pernah mengimpor senjata dan perangkat lunak pertahanan dari Israel. Hubungan diplomatik dapat membuka peluang kerja sama yang lebih luas dan transfer teknologi untuk memperkuat pertahanan nasional.
- Keanggotaan OECD: Israel menyatakan akan mendukung keanggotaan Indonesia di Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) jika hubungan diplomatik dibuka. Dukungan dari negara anggota, termasuk Israel, dapat memuluskan jalan Indonesia menjadi anggota OECD.
Potensi Kerugian:
- Kerawanan Intelijen: Israel memiliki organisasi intelijen Mossad yang berpengaruh dan terkenal dengan operasi klandestin di negara mayoritas Muslim. Pembukaan hubungan diplomatik berpotensi membuka peluang bagi aktivitas klandestin dan menjadikan Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, sebagai sasaran operasi intelijen Israel.
- Tekanan Publik: Masyarakat Indonesia cenderung antipati terhadap Israel karena faktor agama, kemanusiaan, solidaritas, dan pemahaman dangkal tentang konflik global. Publik seringkali lebih mementingkan kemerdekaan Palestina daripada perdamaian universal atau pencegahan korban jiwa akibat serangan Israel. Solusi dua negara yang diajukan Prabowo dapat menjadi langkah awal yang lebih masuk akal menuju perdamaian dan penghentian kekerasan di Gaza.
- Ketidakstabilan Politik: Antipati terhadap Israel juga terjadi di kalangan elite politik, terutama dari kelompok Islam kanan. Ketidakpuasan elite dapat memengaruhi konstituen dan menciptakan ketidakstabilan politik. Isu Israel-Palestina seringkali menjadi komoditas politik untuk meraih simpati atau menciptakan ketidakstabilan. Political will yang kuat dari elite politik domestik diperlukan jika Indonesia ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Indonesia perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan ini. Jika di masa depan Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel setelah pengakuan Negara Palestina, analisis dan kalkulasi dampak kebijakan perlu menjadi fokus utama untuk meminimalkan dampak negatif, terutama kerawanan intelijen dan sensitivitas publik.