Tinjauan Fikih dan Implementasi Skema Murur dan Tanazul dalam Ibadah Haji: Upaya Mengurai Kepadatan di Muzdalifah dan Mina

Tinjauan Fikih dan Implementasi Skema Murur dan Tanazul dalam Ibadah Haji: Upaya Mengurai Kepadatan di Muzdalifah dan Mina

Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) mengambil langkah inovatif dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun ini dengan menerapkan skema murur dan tanazul. Penerapan skema ini memunculkan pertanyaan mengenai landasan hukum dan dampaknya terhadap keabsahan ibadah haji. Skema murur, yang telah diimplementasikan sejak tahun 2024, bertujuan untuk mengurangi kepadatan jemaah di Muzdalifah, terutama bagi jemaah lanjut usia (lansia), penyandang disabilitas, dan mereka yang memiliki risiko kesehatan tinggi. Sementara itu, skema tanazul memungkinkan jemaah untuk kembali lebih awal ke hotel mereka di Makkah setelah menyelesaikan lontar jumrah Aqabah.

Mustasyar Diny PPIH, KH M Ulinnuha, menjelaskan bahwa kedua skema ini memiliki dasar yang kuat dalam fikih haji dan tidak mengurangi keabsahan ibadah haji. Skema murur memungkinkan jemaah untuk melewati Muzdalifah tanpa turun dari bus dan langsung menuju Mina. Beliau mengakui bahwa mabit (bermalam) di Muzdalifah merupakan bagian dari wajib haji, namun dispensasi diberikan kepada jemaah yang memiliki uzur fisik, lansia, atau alasan syar'i lainnya. Mengutip riwayat sahih, Ulinnuha mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW memberikan izin kepada para sahabat yang bertugas memberi makan, menggembala, atau perempuan yang khawatir haid lebih awal untuk tidak mabit di Muzdalifah.

Lebih lanjut, Ulinnuha menjelaskan bahwa Mazhab Hanafi bahkan memandang mabit di Muzdalifah sebagai sunnah, bukan wajib. Atas dasar ini, penerapan skema murur dianggap sah dan tidak menyebabkan jemaah terkena dam (denda). Beliau juga mengutip fatwa ulama Mesir yang menyatakan bahwa murur dibolehkan karena mustahil bagi jutaan jemaah untuk menempati Muzdalifah secara bersamaan. Hal ini menjadi dasar bagi PPIH untuk menerapkan skema ini secara selektif, terutama bagi jemaah lansia, disabilitas, dan yang memiliki uzur.

Kemenag menargetkan sekitar 50.000 jemaah haji untuk mengikuti skema murur, dengan harapan dapat mengurangi kepadatan di Muzdalifah dan mempermudah pergerakan jemaah ke Mina. Selain murur, skema tanazul juga diterapkan, di mana jemaah dapat kembali lebih awal ke hotel mereka di Makkah setelah menyelesaikan lontar jumrah Aqabah. Ulinnuha menjelaskan bahwa tanazul juga didasarkan pada pendapat Mazhab Hanafi yang menganggap mabit di Mina sebagai sunnah. Oleh karena itu, jemaah yang memilih untuk langsung kembali ke hotel tidak terkena dam dan hajinya tetap sah.

Kemenag memperkirakan sekitar 30.000 jemaah, terutama yang tinggal di hotel-hotel sektor Syisyah dan Raudhah, akan mengikuti skema tanazul. Mereka yang mengikuti tanazul tidak akan kembali ke tenda di Mina setelah melontar jumrah pada tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah. Ulinnuha berharap seluruh rangkaian ibadah haji tahun ini berjalan lancar dan mengajak jemaah untuk menjaga niat, kesehatan, dan kekhusyukan, serta memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai haji yang mabrur.

Pergerakan jemaah haji ke Arafah dimulai pada 8 Zulhijah atau bertepatan dengan hari Rabu, 4 Juni, sementara wukuf akan dilaksanakan pada 9 Zulhijah atau Kamis, 5 Juni.

Poin-poin penting dalam pelaksanaan haji:

  • Murur: melewati Muzdalifah tanpa turun dari bus, utamanya bagi lansia, disabilitas, dan jemaah berisiko tinggi.
  • Tanazul: Kembali ke hotel di Makkah lebih awal setelah lontar jumrah Aqabah.
  • Dasar Fikih: Skema murur dan tanazul dibolehkan berdasarkan fikih haji, khususnya Mazhab Hanafi.
  • Tujuan: Mengurangi kepadatan di Muzdalifah dan Mina, mempermudah pergerakan jemaah.
  • Target: 50.000 jemaah untuk murur dan 30.000 jemaah untuk tanazul.