Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua terhadap Anak: Studi Kasus dan Pandangan Ahli
Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua terhadap Anak: Studi Kasus dan Pandangan Ahli
Baru-baru ini, publik kembali dihadapkan pada sorotan terkait dampak perceraian terhadap anak, khususnya setelah beredarnya video yang memperlihatkan anak Baim Wong dan Paula Verhoeven menangis dan mengungkapkan ketakutannya akan reaksi sang ayah jika ibunya berkunjung. Peristiwa ini menjadi pengingat akan pentingnya memahami dampak psikologis perceraian terhadap perkembangan emosional anak.
Dalam video yang diunggah Paula Verhoeven di akun media sosialnya, terlihat sang anak dengan jelas mengungkapkan kekhawatirannya, "Mama jangan ke sini, nanti Papa marah. Nanti Papa marahin Mama." Ungkapan tersebut menjadi gambaran nyata dari kerentanan emosional anak di tengah konflik orang tua. Ketakutan, kecemasan, dan ketidakpastian menjadi beban yang harus dipikul oleh anak-anak yang menghadapi perpisahan orang tua, terlepas dari bagaimana proses perceraian itu berlangsung. Psikolog anak, Gloria Siagian, M.Psi., memberikan pandangannya mengenai hal ini.
Proses Berduka dan Dinamika Emosional Anak
Menurut Gloria Siagian, perceraian, baik yang dilakukan secara baik-baik maupun tidak, tetap akan menimbulkan dampak psikologis pada anak. Kehilangan salah satu figur orang tua merupakan trauma yang harus dihadapi anak. Proses ini, menurutnya, sama dengan proses berduka, di mana anak akan mengalami serangkaian emosi seperti kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan. Kompleksitas emosi ini, jelas Siagian, akan bergantung pada usia anak. Anak yang lebih muda akan mengalami kesulitan lebih besar dalam memproses emosi tersebut dibandingkan anak yang lebih tua, karena kemampuan kognitif dan verbal mereka yang masih berkembang.
"Semakin kecil anak, pasti akan lebih sulit untuk mereka. Semakin dia besar, mungkin akan lebih mudah karena bisa diajak bicara," jelas Gloria. Kemampuan anak untuk menimbang suatu kondisi dan melihatnya secara lebih nuansa (tidak hanya hitam dan putih) baru akan berkembang seiring bertambahnya usia. Namun, terlepas dari usia, proses berduka tetap akan terjadi karena anak harus menghadapi kenyataan pahit perpisahan orangtua yang selama ini menjadi tempat berlindung dan kasih sayang utamanya.
Dampak Negatif dan Strategi Menghadapinya
Perceraian yang diwarnai konflik yang berkepanjangan dapat berdampak lebih buruk pada anak. Gloria menyebutkan beberapa kemungkinan dampak negatif, antara lain: anak menjadi pendiam dan menarik diri dari kehidupan sosial, anak menjadi agresif, atau anak menjadi clingy (menempel) pada orang lain karena kebutuhan afeksinya yang berkurang. Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian serius dari orang tua dan lingkungan sekitar.
Lebih lanjut, anak juga bisa mengalami kebingungan dan dilema ketika harus berpisah dari salah satu orang tua, khususnya jika anak memiliki ikatan yang sangat kuat dengan orang tua tersebut. Situasi ini semakin memburuk jika anak dilarang bertemu dengan orang tua yang dekat dengannya. Kondisi ambigu dan dilematis ini dapat menimbulkan stres dan tekanan emosional yang signifikan pada anak. "Dia sayang banget dan pengin dekat sama ayah atau ibunya, tapi ayah atau ibunya enggak kasih. Jadi, anak berada dalam keadaan dilematis dan ambigu. Kasihan kalau konfliknya seperti itu, karena secara alami anak dekat sama orangtuanya," ungkap Gloria.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua yang bercerai untuk memperhatikan aspek psikologis anak dan menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas utama. Komunikasi yang terbuka, dukungan emosional, serta menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman sangat krusial dalam membantu anak melewati masa sulit ini. Dalam beberapa kasus, konseling profesional dapat membantu anak dan orang tua dalam menghadapi dampak psikologis perceraian.