Penangguhan Penahanan 16 Mahasiswa Trisakti: Kuliah dan Janji Tak Ulangi Jadi Pertimbangan Utama

Aparat kepolisian akhirnya memberikan penangguhan penahanan terhadap 16 mahasiswa Universitas Trisakti yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka terkait kericuhan dalam demonstrasi peringatan reformasi di depan Balai Kota Jakarta. Keputusan ini didasari oleh beberapa pertimbangan krusial, termasuk status pendidikan para mahasiswa yang masih aktif dan jaminan dari mereka serta keluarga untuk tidak mengulangi perbuatan serupa.

AKBP Reonald Simanjuntak, Kasubbid Penmas Polda Metro Jaya, menjelaskan bahwa salah satu alasan utama penangguhan adalah karena para mahasiswa masih terikat dengan kegiatan perkuliahan. Beberapa di antara mereka bahkan tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Selain itu, kepolisian juga mempertimbangkan janji yang diucapkan oleh para mahasiswa untuk tidak lagi terlibat dalam aksi serupa yang melanggar hukum.

"Mereka masih menjalani perkuliahan, ada juga yang mau melaksanakan ujian," ujar Reonald kepada awak media. "Tidak akan menghilangkan barang bukti dan tidak akan melarikan diri,” imbuhnya menirukan janji mahasiswa dan keluarga.

Penangguhan ini juga diperkuat dengan jaminan dari pihak keluarga mahasiswa yang turut mengajukan permohonan. Keluarga menjamin bahwa para mahasiswa tidak akan melarikan diri maupun menghilangkan barang bukti yang terkait dengan kasus tersebut. Meski demikian, Reonald menegaskan bahwa status tersangka terhadap 16 mahasiswa tersebut tetap berlaku. Proses hukum akan tetap berjalan, meskipun mereka tidak ditahan.

"Masih tersangka, cuma saat ini penahanannya aja ditangguhkan. Karena masa depan mereka kan masih cemerlang, masih bisa untuk dibina, dibimbing lagi," tegas Reonald.

Sebagai konsekuensi dari penangguhan penahanan, ke-16 mahasiswa tersebut diwajibkan untuk melapor diri ke pihak kepolisian sebanyak dua kali dalam seminggu, yaitu setiap hari Senin dan Kamis. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa mereka tetap kooperatif dan tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.

Sebelumnya, aksi demonstrasi yang digelar di depan Balai Kota DKI Jakarta pada Rabu (21/5/2025) berujung pada kericuhan. Aksi tersebut merupakan bagian dari peringatan reformasi. Dalam insiden tersebut, pihak kepolisian mengamankan 93 orang, di mana tiga di antaranya terindikasi positif menggunakan narkoba. Selain itu, tujuh anggota kepolisian juga dilaporkan mengalami luka-luka akibat tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh massa aksi.

Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, Kabid Humas Polda Metro Jaya, menjelaskan bahwa aksi tersebut awalnya direncanakan berlangsung di depan pintu masuk Balai Kota. Namun, massa kemudian bertindak anarkis dengan mendobrak pintu dan memaksa masuk ke area dalam kantor pemerintahan tersebut.

Bahkan, beberapa peserta aksi dilaporkan mencoba menerobos masuk menggunakan sepeda motor. Pada saat petugas kepolisian berupaya menghalau massa, terjadi insiden penghadangan terhadap kendaraan pejabat negara. Pejabat tersebut bahkan dipaksa untuk turun dari mobil.

Dalam momen tersebut, massa aksi juga diduga melakukan pemukulan terhadap aparat kepolisian. Akibatnya, tujuh personel Direktorat Sabhara Polda Metro Jaya mengalami luka-luka, termasuk luka sobek, lecet, dan gigitan. Aparat juga menerima tendangan secara bersamaan dari massa.

Di sisi lain, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengungkapkan bahwa unjuk rasa tersebut berkaitan dengan aspirasi pengakuan negara atas tragedi mahasiswa 1998. Tragedi tersebut hingga kini masih menyisakan tuntutan moral dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan akademika Universitas Trisakti.

"Memang pada awalnya ada aspirasi dari mahasiswa Trisakti, termasuk untuk bertemu dengan Kesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik)," ujar Usman Hamid di Balai Kota Jakarta pada Kamis (22/5/2025).

Penyampaian pendapat dan keinginan untuk bertemu dengan Kesbangpol tersebut merupakan bagian dari harapan lama mahasiswa dan keluarga korban agar negara mengakui dan bertanggung jawab atas gugurnya para mahasiswa saat gerakan reformasi 1998.

"Memang sudah lama sebagian dari aktivitas akademik Trisakti berharap ada semacam pengakuan negara atas gugurnya para mahasiswa di tahun 1998," pungkas Usman Hamid.