Penangguhan Penahanan 16 Mahasiswa Trisakti, Wajib Lapor Tetap Berlaku

Pihak kepolisian telah menangguhkan penahanan terhadap 16 mahasiswa Universitas Trisakti yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kericuhan demonstrasi memperingati reformasi di depan Balai Kota Jakarta. Meskipun penahanan ditangguhkan, para mahasiswa tersebut tetap dikenakan wajib lapor sebanyak dua kali dalam seminggu.

"Wajib lapor dilakukan setiap hari Senin dan Kamis. Apabila jadwal tersebut berbenturan dengan jam kuliah, maka waktu pelaporan dapat dialihkan ke hari atau jam lain," jelas Kasubbid Penmas Polda Metro Jaya, AKBP Reonald Simanjuntak, kepada awak media pada Sabtu (31/5/2025).

AKBP Reonald Simanjuntak menegaskan bahwa proses hukum terhadap kasus ini akan tetap berjalan meskipun penahanan para tersangka ditangguhkan. Status tersangka pada 16 mahasiswa tersebut tidak berubah. Penangguhan penahanan ini dikabulkan oleh pihak kepolisian karena mempertimbangkan status para mahasiswa yang masih aktif menjalani perkuliahan dan akan menghadapi ujian.

Selain itu, penangguhan penahanan juga didasari oleh jaminan dari para mahasiswa dan keluarga mereka bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan serupa, tidak akan menghilangkan barang bukti, dan tidak akan melarikan diri.

Sebelumnya, aksi demonstrasi yang digelar di depan Balai Kota DKI Jakarta pada Rabu (21/5/2025) dalam rangka memperingati reformasi berujung ricuh. Dalam kejadian tersebut, polisi mengamankan 93 orang, dan tujuh anggota kepolisian mengalami luka-luka akibat dugaan kekerasan oleh massa.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, menjelaskan bahwa aksi demonstrasi awalnya direncanakan di depan pintu masuk Balai Kota. Namun, massa kemudian melakukan tindakan anarkis dengan mendobrak pintu dan memaksa masuk ke area dalam kantor.

Beberapa peserta aksi bahkan berusaha menerobos masuk menggunakan sepeda motor. Sekitar pukul 16.40 WIB, saat petugas kepolisian berupaya mencegah massa, terjadi insiden penghadangan terhadap kendaraan pejabat negara. Pejabat tersebut juga dipaksa untuk turun dari mobil. Pada saat itulah, massa aksi diduga melakukan pemukulan terhadap petugas kepolisian.

"Akibatnya, tujuh personel Direktorat Sabhara Polda Metro Jaya mengalami luka-luka, seperti luka sobek dan lecet, akibat pemukulan, gigitan, dan tendangan secara bersamaan oleh massa aksi," ungkap Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi.

Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyampaikan bahwa unjuk rasa tersebut berkaitan dengan aspirasi pengakuan negara atas tragedi mahasiswa 1998, yang hingga kini masih menyisakan tuntutan moral dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan akademika Universitas Trisakti.

"Memang pada awalnya ada aspirasi dari mahasiswa Trisakti, termasuk untuk bertemu dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol)," ujar Usman Hamid di Balai Kota Jakarta pada Kamis (22/5/2025).

Penyampaian pendapat dan keinginan untuk bertemu dengan Kesbangpol tersebut merupakan bagian dari harapan lama mahasiswa dan keluarga korban agar negara mengakui dan bertanggung jawab atas gugurnya para mahasiswa saat gerakan reformasi 1998.

"Sebagian dari aktivitas akademik Trisakti memang sudah lama berharap ada semacam pengakuan negara atas gugurnya para mahasiswa di tahun 1998," imbuh Usman Hamid.