Polemik Rumah Subsidi Minimalis: Antara Keterjangkauan dan Kelayakan Huni

Pemerintah berencana merevisi aturan mengenai luas minimal rumah subsidi, memicu perdebatan di kalangan pengembang properti. Usulan penurunan luas bangunan menjadi 18-36 meter persegi dari sebelumnya 21-36 meter persegi, dan luas tanah menjadi 25-200 meter persegi dari 60-200 meter persegi, menuai kritik terkait kelayakan huni, terutama bagi keluarga kecil.

Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) mengungkapkan kekhawatiran bahwa luas tanah yang hanya 25 meter persegi tidak ideal untuk keluarga. Ruang gerak yang terbatas mempersulit perluasan bangunan di kemudian hari, kecuali dengan membangun lantai dua yang membutuhkan biaya konstruksi yang signifikan. Hal ini dikhawatirkan akan memunculkan praktik spekulasi oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang memanfaatkan subsidi.

Rumah subsidi dengan ukuran minimalis juga berpotensi memicu munculnya lingkungan kumuh. Keterbatasan ruang dinilai tidak layak bagi keluarga, menyulitkan penambahan luas bangunan, dan lebih cocok untuk hunian sementara bagi individu lajang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait potensi kecurangan penjualan oleh pengembang.

Selain itu, ukuran 18 meter persegi dianggap tidak sesuai untuk semua wilayah. Hunian ini lebih relevan di kota-kota besar dengan keterbatasan lahan. Ketua Umum DPP APERSI menyarankan agar rumah dengan ukuran tersebut lebih cocok untuk apartemen, kontrakan, atau rumah singgah, bukan untuk hunian jangka panjang.

Muncul pertanyaan terkait keberlanjutan subsidi jika rumah minimalis ditujukan bagi individu lajang yang kemudian berkeluarga dan memiliki anak dalam kurun waktu kurang dari lima tahun. Pembeli rumah subsidi dilarang mengubah struktur bangunan, termasuk menambah lantai, sebelum lima tahun. Hal ini memunculkan potensi ketidaksesuaian antara tujuan subsidi dan kebutuhan keluarga yang berkembang.

Realestat Indonesia (REI) mengakui keterbatasan lahan di perkotaan menjadi alasan utama penurunan batas minimal luas bangunan. Pemerintah berupaya menyediakan rumah terjangkau bagi MBR, namun standar kelayakan hunian tetap harus diperhatikan. REI menyarankan agar aturan tersebut dikaji secara matang dengan mempertimbangkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standar dari World Health Organization (WHO).

REI juga mengusulkan agar rumah ukuran 18 meter persegi lebih cocok diterapkan pada konsep hunian vertikal seperti apartemen atau rumah susun sederhana milik sendiri (rusunami). Konsep vertikal dianggap lebih efektif dalam menjawab kebutuhan hunian di perkotaan dengan lahan terbatas.

Direktur Jendral Perumahan Perkotaan Kementerian PKP menjelaskan bahwa aturan mengenai perubahan batas luas minimal rumah subsidi masih dalam tahap pembahasan dan uji coba. Penurunan batas luas minimal menjadi 18 meter persegi bertujuan memberikan lebih banyak opsi kepada masyarakat, terutama bagi individu lajang. Ukuran ini dianggap layak berdasarkan standar kebutuhan ruang per individu, yaitu 9 meter persegi.

Ketersediaan lahan yang semakin terbatas di perkotaan menjadi pertimbangan lain. Dengan ukuran rumah yang lebih kecil, diharapkan MBR dapat membeli rumah yang lokasinya dekat dengan pusat kota. Pemerintah menegaskan bahwa ukuran rumah subsidi tipe 21, 30, 36, dan lainnya akan tetap berlaku seperti aturan semula. Penurunan batas minimal menjadi 18 meter persegi hanya sebagai pilihan tambahan bagi masyarakat.