Polisi Ngawi Bongkar Jaringan Perdagangan Bayi Berkedok Adopsi Ilegal
Kepolisian Resor (Polres) Ngawi berhasil mengungkap jaringan perdagangan orang (TPPO) yang menjadikan bayi sebagai objek eksploitasi. Modus operandi sindikat ini adalah dengan menawarkan bayi-bayi tersebut untuk adopsi secara ilegal. Dalam penggerebekan yang dilakukan, Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Ngawi berhasil mengamankan empat orang yang diduga kuat terlibat dalam praktik keji ini.
Keempat tersangka yang kini mendekam di sel tahanan Polres Ngawi adalah ZM (34), seorang pria asal Rejoso, Pasuruan; SA (35), seorang perempuan yang merupakan warga Kecamatan Balong, Ponorogo; R (32), seorang perempuan yang juga berasal dari Kecamatan Grati, Pasuruan; serta SEB (22), seorang perempuan yang tercatat sebagai warga Kecamatan Bringin, Ngawi.
Kapolres Ngawi, AKBP Charles Pandapotan Tampubolon, mengungkapkan bahwa pengungkapan kasus ini bermula dari informasi yang diperoleh pihaknya pada hari Rabu, 14 Mei 2025, sekitar pukul 13.00 WIB. Berdasarkan informasi awal tersebut, petugas kemudian melakukan serangkaian penyelidikan mendalam yang akhirnya mengarah pada penangkapan keempat tersangka.
"Kami berhasil mengungkap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terjadi di wilayah Ngawi pada Rabu 14 Mei 2025 sekitar pukul 13.00 WIB. Modus mereka mengadopsi," ujar Kapolres Ngawi AKBP Charles Pandapotan Tampubolon, Sabtu (31/5/2025).
Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, sindikat ini telah beroperasi cukup lama dan berhasil memperdagangkan sedikitnya 10 bayi ke berbagai daerah di Jawa Timur dan DKI Jakarta. Para tersangka memiliki peran masing-masing dalam menjalankan bisnis haram ini.
"Dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, para tersangka telah melakukan perdagangan orang berupa bayi, dengan modus untuk adopsi sendiri lebih dari 10 kali di wilayah Jawa Timur dan DKI Jakarta," kata Charles.
Para pelaku menjual bayi-bayi tersebut dengan harga yang bervariasi, namun rata-rata mencapai Rp 15 juta per bayi. Dari hasil penjualan tersebut, para tersangka kemudian membagi keuntungan dengan nominal yang berbeda-beda, sesuai dengan peran dan kontribusi masing-masing.
"Pelaku berinisial SA mendapatkan keuntungan sebesar Rp 4 juta, ZM sebesar Rp 2,5 juta, kemudian R mendapat keuntungan Rp 1 juta, dan SEB mendapat keuntungan Rp 2 juta," kata Charles.
Kasat Reskrim Polres Ngawi, AKP Joshua Peter Krisnawan, menambahkan bahwa pengungkapan kasus ini bermula dari laporan yang diterima pihaknya dari salah seorang perangkat desa di wilayah Bringin. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian penyelidikan intensif hingga akhirnya membuahkan hasil.
Atas perbuatan mereka, keempat tersangka dijerat dengan Pasal 83 Jo Pasal 76 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 11 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Mereka terancam hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.
"Atas laporan perangkat desa kita ungkap kasus ini. Kemudian untuk ancaman hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun penjara," papar Joshua.
Menurut pengakuan para tersangka, mereka nekat melakukan perdagangan bayi karena terdesak kebutuhan ekonomi. Mereka menjadikan bisnis haram ini sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Motif pelaku mendapat keuntungan yang berbeda pula dari hasil penjualan bayi tersebut dan menjadikannya sebagai mata pencaharian," tandas Joshua.