Inefisiensi Pabrik Tua Picu Pemborosan Anggaran Pupuk Subsidi Hingga Triliunan Rupiah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya inefisiensi dalam pengelolaan anggaran pupuk bersubsidi yang mencapai Rp 2,92 triliun selama periode 2020-2022. Temuan ini menyoroti adanya pemborosan yang disebabkan oleh tingginya biaya produksi pupuk subsidi dan kapasitas produksi pabrik yang tidak efisien.
Anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan, menyoroti bahwa salah satu penyebab utama inefisiensi ini adalah usia pabrik PT Pupuk Indonesia (Persero) yang sudah tua. Menurutnya, banyak pabrik pupuk yang telah beroperasi lebih dari 40 tahun, sehingga memerlukan peremajaan agar lebih efisien dan tidak membebani anggaran subsidi.
"Terkait temuan BPK RI tersebut, di PIHC terdapat 5 anak perusahaan sebagai produsen pupuk yang masing-masing memiliki pabrik amoniak, urea, dan NPK dengan usia pabrik yang bervariasi dan rata-rata di atas 40 tahun dengan konsumsi energi (kebutuhan gas) bervariasi," ujar Nasim.
Nasim menjelaskan bahwa pabrik-pabrik tua ini menyebabkan produksi menjadi tidak efisien, yang pada akhirnya meningkatkan biaya produksi pupuk bersubsidi. Akibatnya, pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang lebih besar untuk membeli pupuk subsidi yang diproduksi dari pabrik-pabrik tersebut.
"Temuan pemborosan dan efisiensi yang dimaksud BPK karena memang ada pabrik yang boros sehingga HPP-nya tinggi dan membebani subsidi atau apapun wajib PI menindaklanjuti rekomendasi BPK," ungkapnya.
Untuk mengatasi masalah ini, Nasim mendesak pemerintah untuk mendukung perbaikan pabrik-pabrik pupuk yang sudah tua. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kepastian harga gas untuk produksi pupuk. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendukung kemajuan industri pupuk nasional melalui penerapan teknologi dan peningkatan efisiensi produksi.
Saat ini, Pupuk Indonesia tengah membangun pabrik baru di Palembang dan Papua, serta melakukan pembaruan atau revamping pabrik PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) di Bontang, Kalimantan Timur.
"Memang pabrik-pabrik pupuk kita sebagian besar sudah tua dan tidak efisien konsumsi bahan baku gas-nya. Oleh karena itu, perlu didukung pembangunan pabrik-pabrik baru agar semakin efisien sehingga HPP atau biaya produksinya semakin hemat sehingga tidak terjadi pemborosan," jelasnya.
Nasim memastikan akan mempelajari lebih lanjut laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2024 BPK. Ia juga menyarankan PT Pupuk Indonesia untuk menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan oleh BPK.
"Yang pasti kami akan mempelajari temuan BPK tersebut, juga diharapkan PI (Pupuk Indonesia) dapat menindaklanjuti rekomendasi BPK, karena apapun yang dilakukan dalam kebijakan subsidi dan nonsubsidi diharapkan sesuai secara aturan," pungkasnya.
Dalam IHPS II 2024, BPK menemukan pemborosan belanja subsidi pupuk pemerintah selama tahun 2020-2022 sebesar Rp 2,92 triliun, di antaranya Rp 2,83 triliun disebabkan karena pengalokasian pupuk urea bersubsidi oleh PTPI belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas produksi operasional masing-masing anak perusahaan produsen pupuk.
BPK menilai bahwa kebijakan alokasi produksi pupuk bersubsidi masih memprioritaskan produsen dengan biaya produksi tertinggi, sementara produsen dengan biaya produksi terendah lebih diutamakan untuk produksi pupuk non-subsidi. Hasil perbandingan antara alokasi pada kontrak dengan rata-rata tertimbang kapasitas operasional juga menunjukkan bahwa pembagian alokasi produksi pupuk bersubsidi belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas produksi masing-masing produsen pupuk.
BPK merekomendasikan kepada Dewan Komisaris Pupuk Indonesia untuk memberikan peringatan dan arahan kepada Direktur Utama dan Direktur Pemasaran PT PI yang dinilai tidak cermat, melanggar tata kelola yang sehat, dan kurang mempertimbangkan efisiensi dalam penetapan alokasi pupuk bersubsidi kepada anak perusahaan.