Transformasi Peran Kampus: Dari Menara Gading Menuju Penggerak Perubahan Sosial Berdasarkan Pancasila
Menghidupkan Semangat Bung Karno: Kampus Sebagai Agen Perubahan
Pernyataan visioner Bung Karno mengenai pentingnya ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan menjadi landasan relevan bagi transformasi peran kampus di era modern. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdikristek) menggagas konsep "kampus berdampak" sebagai upaya untuk merevitalisasi peran perguruan tinggi agar tidak hanya menjadi pusat penelitian dan publikasi, tetapi juga sebagai motor penggerak perubahan sosial yang nyata di masyarakat.
Gagasan ini muncul dari keprihatinan bahwa selama ini kampus cenderung terisolasi dari realitas kehidupan masyarakat, lebih fokus pada pencapaian akademik dan peringkat global semata. Padahal, seharusnya kampus dapat menjadi "menara air" yang menyuplai solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat, menjadi suluh peradaban yang menerangi jalan menuju kemajuan.
Kampus Sebagai Rumah Minoritas Kreatif
Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa perubahan besar seringkali digerakkan oleh sekelompok kecil individu yang memiliki visi dan inovasi, yang disebut oleh sejarawan Arnold J. Toynbee sebagai "minoritas kreatif". Kelompok ini memiliki kemampuan untuk membaca tantangan zaman, menghasilkan ide-ide baru, dan menginspirasi perubahan dalam masyarakat.
Kampus, dengan lingkungan akademiknya yang merdeka, kritis, dan kreatif, seharusnya menjadi rumah bagi minoritas kreatif ini. Di sinilah ide-ide inovatif dilahirkan, diuji, dan disebarluaskan. Sejarah Indonesia membuktikan bahwa para pendiri bangsa, seperti Soetomo, Soekarno, dan Hatta, adalah produk dari pendidikan tinggi yang mampu merumuskan gagasan-gagasan besar tentang bangsa dan negara.
Pancasila dan Indonesia Raya: Karya Intelektual Anak Bangsa
Gagasan tentang Indonesia Raya dan Pancasila adalah bukti nyata dari kapasitas intelektual dan akumulasi pengetahuan para pendiri bangsa. Keduanya adalah hasil dari pergulatan pemikiran yang mendalam, merefleksikan kejayaan masa lalu dan visi masa depan.
Lagu "Indonesia Raya" karya WR Supratman mengandung semangat persatuan, kemerdekaan, dan kebahagiaan. Sementara itu, Pancasila yang dirumuskan oleh Soekarno dan para anggota BPUPKI merupakan dasar negara yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Soekarno tidak menelan mentah-mentah teori politik dan nasionalisme Barat, tetapi mengkritiknya dan menawarkan gagasan baru yang lebih sesuai dengan konteks Indonesia, seperti sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme.
Aktualisasi Pancasila: Tantangan dan Harapan
Sayangnya, cita-cita Indonesia Raya dan Pancasila masih jauh dari kenyataan. Angka stunting yang tinggi, korupsi yang merajalela, dan kesenjangan sosial yang lebar menjadi bukti bahwa nilai-nilai luhur bangsa belum sepenuhnya terinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kampus memiliki peran strategis untuk mengatasi tantangan ini. Jika Indonesia Raya dan Pancasila belum dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, maka kampus turut bertanggung jawab untuk mengawal perubahan dan mewujudkan cita-cita luhur bangsa.
Menciptakan Ekosistem Minoritas Kreatif
Untuk mewujudkan peran tersebut, dibutuhkan ekosistem yang mendukung tumbuhnya minoritas kreatif di kampus. Ekosistem ini harus bebas dari pembatasan akademik, intervensi kekuasaan, dan sistem pemaknaan yang monolitik.
Kebebasan akademik dan kemerdekaan berpikir adalah kunci utama bagi kampus untuk menghasilkan ide-ide inovatif dan solusi bagi permasalahan masyarakat. Tanpa kebebasan ini, gagasan "kampus berdampak" hanya akan menjadi jargon kosong.
Kampus harus menjadi pionir dalam pengembangan sains, teknologi, dan seni, serta menjadi katalisator bagi perubahan sosial yang positif di masyarakat. Dengan demikian, kampus dapat benar-benar menjadi "menara air" yang menyuplai kehidupan bagi bangsa dan negara.