Revitalisasi Moral Bangsa: Mungkinkah Barak Militer Jadi Solusi Pembentukan Karakter?
Krisis moralitas di Indonesia telah mencapai titik mengkhawatirkan. Prevalensi premanisme, tawuran antar pelajar, dan hilangnya kesantunan di ruang publik menjadi indikasi nyata degradasi nilai-nilai luhur bangsa.
Dalam merespons situasi ini, kebijakan Gubernur Jawa Barat yang menginisiasi program pembinaan karakter bagi preman dan remaja bermasalah melalui pelatihan di barak militer menuai pro dan kontra. Meskipun kontroversial, langkah ini dapat dilihat sebagai upaya negara untuk mengatasi masalah dekadensi moral yang menggerogoti generasi muda.
Pro dan kontra terhadap kebijakan ini tidak terlepas dari kekhawatiran mengenai potensi pelanggaran hak asasi manusia. Namun, di balik polemik tersebut, terdapat pesan penting yang perlu digarisbawahi: pembangunan karakter harus sejalan dengan pembangunan infrastruktur. Kemajuan fisik tidak akan berarti banyak jika moralitas masyarakat terpuruk.
Barak militer dalam konteks ini bukan sekadar simbol kekuatan represif, melainkan ruang pembinaan yang bertujuan menanamkan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, rasa hormat kepada negara, dan cinta tanah air. Dengan pendekatan yang humanis dan profesional, program ini berpotensi menjadi wujud nyata dari nation and character building, terutama di tengah krisis keteladanan dan gempuran informasi negatif.
Premanisme adalah masalah kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketimpangan ekonomi, lemahnya pendidikan karakter, minimnya ruang ekspresi positif bagi remaja, dan krisis identitas. Ironisnya, kelompok preman kerap kali dimanfaatkan sebagai instrumen kekuasaan dalam sejarah politik Indonesia.
Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa pelibatan militer dalam pembinaan sosial bukanlah hal yang baru. Program wajib militer di Singapura, misalnya, berhasil menggabungkan pelatihan fisik, mental, dan nilai kebangsaan dalam satu sistem terintegrasi. Di Amerika Serikat, "boot camp" menjadi alternatif rehabilitasi bagi remaja bermasalah.
Namun, konteks Indonesia tentu berbeda. Tanpa adanya wajib militer, pendekatan ini harus bersifat selektif dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya. Pengawasan ketat dari lembaga perlindungan anak, akademisi, psikolog, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk mencegah kekerasan atau pelecehan hak. Disiplin harus membina, bukan menghukum.
Kebijakan ini juga dapat dipandang sebagai bagian dari pertahanan non-militer. Di saat kekuatan fisik negara terancam oleh krisis moral dan sosial, membina generasi muda menjadi wujud nyata bela negara.
Inisiatif ini membuka ruang diskusi tentang tanggung jawab negara dalam membina warga negara. Negara harus hadir untuk merangkul dan membina, bukan hanya menghukum. Preman dan anak bermasalah bukanlah objek penertiban, melainkan subjek dari proyek kebangsaan yang perlu ditata ulang.
Untuk membangun bangsa yang kuat, kita harus memulai dari masyarakat yang kuat, yang tidak takut pada disiplin dan tidak alergi terhadap kebangsaan. Meskipun inisiatif ini belum sempurna, kita harus memberikan kesempatan bagi gagasan besar ini untuk berkembang.
Kekuatan bangsa tidak hanya ditentukan oleh jumlah senjata atau besarnya PDB, tetapi juga oleh karakter warganya: jujur, disiplin, tangguh, dan cinta tanah air. Jika barak militer dapat membantu menanamkan nilai-nilai tersebut dengan penuh hormat terhadap martabat manusia, maka kebijakan ini layak untuk diperjuangkan.
Penilaian terhadap efektivitas program ini perlu dilakukan secara komprehensif. Evaluasi yang cermat akan memberikan gambaran yang jelas mengenai dampak positif dan negatifnya. Dengan demikian, program ini dapat disempurnakan dan diadaptasi agar lebih efektif dalam mencapai tujuan pembentukan karakter bangsa.
Idealnya, program ini dapat dievaluasi dan dipertimbangkan sebagai program nasional yang dilaksanakan secara merata di seluruh provinsi. Dengan pengelolaan yang baik dan terukur, diharapkan pembangunan nation and character building dapat terselenggara secara lebih terpadu, sehingga mempermudah pencapaian tujuan pembangunan nasional.