Penurunan Okupansi Hotel di Jakarta Ancam Gelombang PHK Massal

Kondisi perhotelan di Jakarta tengah menghadapi tantangan serius akibat penurunan tingkat hunian kamar secara signifikan. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta melaporkan bahwa sejak awal tahun 2025, setelah pemerintah menerapkan efisiensi anggaran, tingkat keterisian kamar hotel di ibu kota tidak mampu menembus angka 50 persen.

"Rata-rata okupansi hotel berbintang berada di bawah 47 persen. Kondisi ini bahkan lebih memprihatinkan untuk hotel non-bintang," ujar Ketua PHRI Jakarta, Sutrisno Iwantono, pada Sabtu (31/5/2025). Data ini mencerminkan penurunan yang mengkhawatirkan, mencapai 20 persen, dibandingkan dengan tingkat hunian sebelum adanya kebijakan efisiensi anggaran.

Sebelumnya, PHRI Jakarta mencatat bahwa tingkat okupansi hotel di Jakarta berada di kisaran 55 persen. Kontribusi tamu dari sektor pemerintahan memiliki peran yang cukup besar, yakni mencapai 20 hingga 40 persen dari total tamu hotel. Survei yang dilakukan oleh BPD PHRI DKI Jakarta pada April 2025 menunjukkan bahwa mayoritas hotel, sekitar 96,7 persen, melaporkan adanya penurunan okupansi. Dari jumlah tersebut, sekitar 66,7 persen responden menyatakan bahwa penurunan terbesar berasal dari segmen pasar pemerintahan, sebagai dampak dari kebijakan pengetatan anggaran.

Menurunnya jumlah tamu hotel ini berdampak langsung pada potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para karyawan hotel. Sutrisno menjelaskan bahwa mayoritas hotel di Jakarta kemungkinan akan melakukan pengurangan pegawai jika kondisi ini terus berlanjut. Berdasarkan survei PHRI, pemilik hotel cenderung akan mengurangi jumlah karyawan sekitar 10 hingga 30 persen, tergantung pada perkembangan situasi.

Karyawan yang paling rentan terkena dampak PHK adalah tenaga kerja harian (daily worker), diikuti oleh pegawai kontrak, dan kemudian pegawai tetap. Data survei juga menunjukkan bahwa 90 persen responden telah mengurangi tenaga kerja harian, sementara 36,7 persen lainnya berencana untuk mengurangi staf tetap.

Merespon situasi ini, BPD PHRI Jakarta telah menjalin komunikasi dengan pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata, untuk mencari solusi atas permasalahan minimnya okupansi hotel. Sutrisno menekankan bahwa penanganan masalah ini tidak bisa hanya mengandalkan satu pendekatan saja, tetapi juga melibatkan berbagai pihak terkait.

PHRI Jakarta mengusulkan beberapa langkah strategis kepada pemerintah, termasuk pelonggaran anggaran untuk perjalanan dinas dan kegiatan rapat, peningkatan promosi pariwisata yang lebih terarah dan berkelanjutan, penertiban akomodasi ilegal yang merusak pasar, peninjauan kembali kebijakan tarif air, harga gas industri, dan UMP sektoral, serta penyederhanaan proses perizinan dan sertifikasi.

Berikut adalah usulan PHRI Jakarta untuk memulihkan sektor perhotelan di Jakarta:

  • Pelonggaran kebijakan anggaran pemerintah untuk perjalanan dinas dan kegiatan rapat
  • Peningkatan promosi pariwisata yang lebih terarah dan berkesinambungan
  • Penertiban akomodasi ilegal yang merusak pasar dan tidak memiliki izin resmi
  • Peninjauan kembali terhadap kebijakan tarif air, harga gas industri, dan UMP sektoral
  • Penyederhanaan proses perizinan dan sertifikasi, termasuk mengintegrasikan sistem antarinstansi agar lebih efisien dan transparan

Sementara menunggu respons dari pemerintah, beberapa hotel mengambil langkah-langkah efisiensi dengan menekan pengeluaran, terutama biaya listrik dan air. Selain itu, beberapa hotel juga mulai membidik target pasar baru, seperti komunitas dan perusahaan swasta. Namun, Sutrisno mengakui bahwa semua upaya ini masih dalam proses dan hasilnya tidak dapat dilihat secara instan.