Gaya Komunikasi Gubernur Jawa Barat: Antara Niat Baik dan Tantangan Ruang Publik

Insiden kemarahan Gubernur Jawa Barat (Jabar), yang akrab disapa KDM, terhadap sekelompok pemuda yang membentangkan spanduk dukungan untuk Persikas Subang, sebuah tim sepak bola Liga 2, menjadi sorotan. Peristiwa ini memicu diskusi tentang pentingnya komunikasi publik yang efektif dan beretika bagi pejabat publik, terutama di era media sosial yang serba cepat.

Konteks kemarahan KDM terjadi saat dirinya tengah berinteraksi dengan seorang warga. Reaksi spontan ini kemudian viral dan menuai beragam komentar dari warganet. Gaya komunikasi yang emosional, meskipun mungkin didasari niat baik, seringkali dapat mengaburkan substansi pesan yang ingin disampaikan dan memicu polemik di ruang publik.

Niat Baik Belum Cukup

Studi Haresti Asysy Amrihani (2021) menyoroti bahwa pejabat publik di Indonesia kerap menggunakan gaya komunikasi yang menekankan urgensi perubahan. Namun, berdasarkan Social Judgement Theory, audiens menilai pesan berdasarkan kerangka referensi masing-masing. Akibatnya, gaya komunikasi emosional berpotensi memicu polarisasi.

Contoh kasus serupa pernah terjadi pada pejabat publik lain, seperti Tri Rismaharini dan Basuki Tjahaja Purnama. Meskipun memiliki niat baik, gaya komunikasi mereka yang dianggap kurang tepat konteks seringkali menuai resistensi.

KDM sendiri dikenal dekat dengan masyarakat. Interaksinya yang penuh kasih sayang, seperti yang sering terlihat di media sosial, memperlihatkan kedekatannya dengan warga. Namun, insiden kemarahan tersebut menjadi catatan penting. Sebagai tokoh publik, KDM perlu meminimalisir ekspresi emosional yang berlebihan untuk menghindari polarisasi.

Memperkuat Kepercayaan Publik

Selama ini, KDM berhasil membangun kepercayaan publik dengan mendengarkan keluhan masyarakat, memberikan respon cepat, dan menyampaikan kebijakan secara transparan. Pendekatan ini menciptakan kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyat.

Di era digital, pejabat publik dituntut untuk lebih berhati-hati dalam berkomunikasi. Prinsip keterbukaan, empati, dan kejelasan pesan harus diutamakan. Komunikasi yang baik tidak harus selalu lembut, tetapi harus berbasis data, relevan dengan konteks, dan menghindari ekspresi emosional yang berpotensi menimbulkan kegaduhan.

Kearifan Lokal dalam Komunikasi

KDM memiliki modal komunikasi yang kuat, yaitu kearifan lokal Sunda yang humanis dan membumi. Penggunaan bahasa daerah, cerita sehari-hari, dan nilai budaya lokal membuat pesannya lebih mudah diterima dan memperkuat ikatan sosial antara pemimpin dan masyarakat.

Tak jarang, KDM dianggap meneladani kepemimpinan Prabu Siliwangi. Hal ini menjadi modal penting dalam membangun citra positif di mata masyarakat Sunda. Oleh karena itu, KDM perlu terus mengembangkan komunikasi yang berlandaskan penghormatan pada nilai-nilai budaya Sunda.

Belajar dari Tri Tangtu di Buana

Dalam menentukan strategi komunikasi publik yang efektif, KDM dapat belajar dari sistem Tri Tangtu di Buana dalam tradisi Sunda kuno. Sistem ini membagi kekuasaan dalam tiga pilar: Prebu (raja/eksekutif), Rama (tokoh masyarakat/legislatif), dan Resi (kaum intelektual/yudikatif). Ketiga pilar ini saling mengontrol dan mengambil keputusan secara musyawarah, mencegah kekuasaan otoriter dan memperkuat legitimasi melalui dialog dan kolaborasi.

Dalam konteks komunikasi politik modern, nilai-nilai Tri Tangtu di Buana menuntut pejabat publik untuk mengedepankan dialog partisipatif, transparansi, dan musyawarah. Dengan mengintegrasikan kearifan lokal Sunda dan prinsip Tri Tangtu di Buana, pejabat publik dapat membangun kepercayaan, menciptakan ruang diskusi yang sehat, demokratis, dan produktif.

Masyarakat kini mengharapkan pejabat publik yang tidak hanya memiliki niat baik, tetapi juga mampu mengelola komunikasi secara profesional dan adaptif terhadap dinamika ruang publik. Strategi komunikasi yang matang akan menjaga kepercayaan publik, menghindari kesalahpahaman, dan memastikan kebijakan yang baik benar-benar dipahami serta didukung oleh rakyat. Keseimbangan antara niat baik dan komunikasi yang cerdas, etis, dan berakar pada nilai-nilai lokal menjadi kunci keberhasilan seorang pemimpin di era modern.