Revitalisasi Pancasila: Menggali Kembali Nilai Luhur dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Memudarnya Pancasila dalam Realitas Kehidupan

Pancasila, fondasi ideologi negara yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, lebih dari sekadar rangkaian lima sila. Ia merupakan manifestasi nilai-nilai luhur yang bersumber dari sejarah panjang, pengalaman kolektif, dan aspirasi luhur bangsa Indonesia.

Ironisnya, Pancasila kini tergerus oleh zaman, kehilangan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar warga negara. Nilai-nilai yang seharusnya menjadi kompas moral ini kian pudar, terabaikan, dan bahkan dilupakan.

Setiap tanggal 1 Juni, peringatan Hari Lahir Pancasila dirayakan dengan gegap gempita melalui upacara, seminar, dan berbagai acara seremonial. Namun, perayaan ini seringkali terasa hampa, tidak menyentuh esensi nilai-nilai Pancasila yang seharusnya diinternalisasi dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Generasi muda, khususnya, kurang memahami Pancasila sebagai nilai yang hidup dan relevan. Pancasila hanya dianggap sebagai bagian dari kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang membosankan, bukan sebagai pedoman hidup yang membimbing perilaku dan tindakan.

Banalitas Pelupaan dan Jargonisasi Pancasila

Dalam konteks kebangsaan, tantangan terbesar bukanlah penolakan terhadap Pancasila, melainkan pengabaian terhadap nilai-nilai luhurnya. Pengabaian ini lebih berbahaya daripada penolakan secara terbuka, karena ia merongrong fondasi moral bangsa secara perlahan namun pasti.

Pancasila seringkali dijadikan jargon politik kosong oleh para politisi dan partai politik. Mereka mengklaim diri sebagai Pancasilais, namun tindakan dan kebijakan mereka seringkali bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sosial, kemanusiaan, dan persatuan Indonesia.

Meningkatnya intoleransi, diskriminasi, dan ketimpangan sosial menjadi bukti nyata bahwa sila pertama dan kedua Pancasila kehilangan daya hidupnya. Kemanusiaan hanya menjadi retorika kosong, dan keadilan menjadi hak istimewa bagi kelompok tertentu.

Transformasi Pancasila: Dari Tekstual ke Eksistensial

Pancasila selama ini diperlakukan sebagai teks mati yang dibaca, dihafalkan, dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Namun, nilai-nilai Pancasila tidak dihidupi, diamalkan, dan diimplementasikan dalam tindakan nyata.

Pancasila tidak lagi menjadi kompas moral yang membimbing tindakan, kebijakan, dan relasi sosial. Padahal, nilai-nilai Pancasila hanya bermakna jika diwujudkan dalam tindakan konkret dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Sila tentang "persatuan Indonesia" menjadi ironi ketika momentum politik justru memecah belah masyarakat. Sila tentang "keadilan sosial" menjadi paradoks ketika ketimpangan ekonomi semakin lebar dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan terbatas pada kelompok tertentu.

Oleh karena itu, Pancasila perlu direvitalisasi dan ditransformasikan dari ruang hafalan ke ruang keberanian moral. Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga dasar eksistensi manusia Indonesia. Ia adalah kompas batin yang membimbing setiap individu dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.

Tantangan Eksistensial Pancasila di Era Digital

Di era digital yang serba cepat dan penuh distraksi, Pancasila menghadapi tantangan eksistensial yang nyata. Generasi muda terpapar pada nilai-nilai global yang disebarkan melalui media sosial dan platform digital lainnya.

Solidaritas digantikan oleh trending topic, dan kebajikan disubstitusi oleh popularitas. Nilai-nilai luhur seperti gotong royong dan musyawarah kehilangan daya saingnya dalam persaingan mendapatkan perhatian dan pengakuan.

Oleh karena itu, Pancasila perlu dihadirkan kembali bukan dalam bentuk indoktrinasi, melainkan dalam bentuk dialog yang terbuka dan inklusif. Pancasila harus menjadi diskursus yang menghidupkan ruang-ruang pendidikan, kebudayaan, dan politik.

Pancasila Sebagai Etika Publik

Pancasila semestinya berfungsi sebagai etika publik yang membimbing relasi antara warga negara dan negara, antar sesama warga negara, dan antara manusia dengan alam. Sila pertama, misalnya, bukan hanya berbicara tentang monoteisme formal, tetapi juga tentang pengakuan akan adanya kekuatan transenden yang mengikat manusia dalam kesadaran bahwa ada yang lebih tinggi dari kuasa dan kepentingan pribadi.

Sila kedua mengandung pengakuan akan martabat setiap manusia tanpa kecuali. Sila ketiga menuntut persatuan bukan sebagai slogan, tetapi sebagai sikap hidup yang inklusif dan toleran. Sila keempat mengajak kita bermusyawarah untuk mencapai mufakat, bukan saling menyerang dan memaksakan kehendak. Dan sila kelima menuntut distribusi keadilan yang merata, bukan akumulasi keuntungan oleh segelintir elite.

Jika nilai-nilai ini diinternalisasi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka Pancasila akan menjadi etos kehidupan bersama yang membimbing bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita luhurnya.

Menyalakan Kembali Cahaya Pancasila

Menyalakan kembali cahaya Pancasila adalah tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Guru di ruang kelas, wartawan di meja redaksi, hakim di ruang sidang, pedagang di pasar, dan pejabat di kantor kementerian memiliki peran masing-masing dalam menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila.

Peringatan Hari Lahir Pancasila hendaknya menjadi momentum untuk merenungkan kembali apakah sila-sila Pancasila sudah menyala dalam kehidupan kita, atau hanya menjadi teks seremonial yang dibaca tanpa jiwa. Pancasila adalah cahaya yang masih ada, namun butuh dihidupkan kembali dengan kesadaran, keberanian, dan cinta.

  • Pancasila: Dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia.
  • Nilai-nilai luhur: Kemanusiaan, keadilan, persatuan, musyawarah, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  • Pelupaan: Pengabaian terhadap nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
  • Jargonisasi: Penggunaan Pancasila sebagai slogan politik tanpa implementasi nyata.
  • Revitalisasi: Upaya menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  • Etika publik: Pedoman moral yang membimbing relasi antara warga negara dan negara.
  • Tantangan era digital: Pengaruh nilai-nilai global dan disrupsi informasi terhadap pemahaman dan implementasi Pancasila.