Ancaman Kegagalan Proyek Food Estate: Pendekatan Parsial dan Kurangnya Integrasi Dinilai sebagai Faktor Utama
Ancaman Kegagalan Proyek Food Estate: Pendekatan Parsial dan Kurangnya Integrasi Dinilai sebagai Faktor Utama
Proyek food estate nasional tengah menghadapi tantangan serius, bahkan berpotensi gagal jika pendekatan yang diterapkan tetap parsial dan tidak holistik. Hal ini diungkapkan oleh mantan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, saat menerima kunjungan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Bakrie, di Kementerian Pertanian. Amran menekankan perlunya pendekatan yang terintegrasi untuk menghindari pengulangan kegagalan proyek serupa di masa lalu.
Amran mencontohkan proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, sebagai studi kasus yang mencolok. Ia menjelaskan bahwa kepemilikan lahan yang luas oleh sebagian kecil keluarga, dengan rentang kepemilikan mencapai 1.000 hingga 10.000 hektar per keluarga, menjadi kendala utama. Pemerintah, menurutnya, tidak cukup hanya membuka lahan tanpa memberikan pendampingan teknologi dan manajemen yang memadai. "Kita datang, kemudian ditinggal tanpa teknologi, ya 50 tahun enggak selesai," tegas Amran. Ia menambahkan bahwa tanpa transformasi dari pertanian tradisional ke modern, disertai dengan optimasi lahan, keterlibatan generasi muda, dan penerapan teknologi, proyek ini akan sulit mencapai tujuannya.
Lebih lanjut, Amran menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta, khususnya Kadin, untuk mengoptimalkan program cetak sawah. Ia mengemukakan gagasan ambisius untuk menyamai kemajuan pertanian di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, China, dan Jepang. Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah pengadaan alat-alat pertanian canggih senilai Rp 10 triliun yang kemudian didistribusikan secara gratis kepada generasi muda, dengan skema pembayaran bertahap di kemudian hari setelah mereka mendapat pelatihan kewirausahaan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian.
Sejarah proyek food estate di Indonesia, khususnya proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digagas pada tahun 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi pelajaran berharga. Proyek yang kala itu dipromosikan dengan slogan "beri makan Indonesia dan beri makan dunia" ini, yang menargetkan konversi 1,2 juta hektar lahan, justru berujung pada akuisisi lahan oleh korporasi tanpa menghasilkan peningkatan produksi pangan yang signifikan. Lahan tersebut malah banyak digunakan untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Kegagalan serupa juga terulang di beberapa lokasi lain, seperti Kalimantan Tengah, yang dilaporkan pada tahun 2022. Kini, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, upaya mencetak sawah seluas 1 juta hektar di Merauke kembali dijalankan, namun tantangannya tetap sama, yaitu bagaimana menghindari jebakan pendekatan parsial dan memastikan integrasi yang menyeluruh.
Untuk keberhasilan proyek food estate, Amran menekankan perlunya pendekatan holistik yang meliputi:
- Pendampingan teknologi dan manajemen: Petani harus diberikan pelatihan dan dukungan teknis yang berkelanjutan.
- Optimasi lahan: Penggunaan teknologi dan metode pertanian modern untuk meningkatkan produktivitas.
- Keterlibatan generasi muda: Memberdayakan kaum muda dengan pelatihan kewirausahaan dan akses teknologi.
- Kolaborasi pemerintah dan swasta: Kerjasama yang sinergis antara pemerintah dan sektor swasta untuk optimalisasi sumber daya dan pembiayaan.
- Pendekatan yang berkelanjutan: Memelihara kelestarian lingkungan dan memperhatikan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat.
Kesimpulannya, keberhasilan proyek food estate tidak hanya bergantung pada ambisi dan target yang ditetapkan, namun lebih krusial lagi pada pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi. Pengalaman masa lalu menjadi pelajaran berharga yang harus dipetik agar proyek ini dapat memberikan manfaat nyata bagi ketahanan pangan nasional.