Fadli Zon: Penulisan Ulang Sejarah Nasional Tidak Terfokus Eksklusif pada Kasus Pelanggaran HAM

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menegaskan bahwa proyek penulisan ulang sejarah bangsa Indonesia yang tengah berjalan tidak secara spesifik mengupas tuntas belasan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah terjadi di tanah air. Penegasan ini muncul sebagai respons atas pernyataan aktivis HAM, Beka Ulung Hapsara, yang menyoroti terbatasnya cakupan pembahasan kasus HAM dalam proyek penulisan ulang sejarah tersebut.

Fadli Zon menjelaskan bahwa tujuan penulisan ulang sejarah ini bukanlah semata-mata untuk mendokumentasikan seluruh peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Ia menekankan bahwa proyek ini akan mencakup berbagai aspek sejarah bangsa, dengan penekanan pada narasi yang lebih positif dan konstruktif. “Ini bukan menulis tentang sejarah HAM,” ujarnya di Cibubur, Depok, Jawa Barat, Minggu (1/6/2025).

Lebih lanjut, Fadli Zon menyatakan bahwa gaya penulisan yang digunakan dalam proyek ini akan lebih mengarah pada penggalian nilai-nilai positif dan inspiratif dari sejarah bangsa. Ia berharap bahwa pendekatan ini dapat memberikan semangat dan motivasi yang lebih relevan bagi generasi muda.

“Kalau mau mencari-cari kesalahan atau mencari-cari hal yang negatif, saya kira itu selalu ada. Jadi yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif. Dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya,” imbuhnya.

Pernyataan Fadli Zon ini merupakan tanggapan atas sorotan yang dilontarkan oleh aktivis HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam sebuah acara diskusi. Beka Ulung Hapsara mempertanyakan minimnya perspektif korban pelanggaran HAM berat masa lalu dalam penulisan sejarah ulang. Beka Ulung Hapsara mengungkapkan kekhawatiran bahwa jika hal ini terjadi, korban pelanggaran HAM berat masa lalu akan semakin terlupakan, padahal mereka masih merasakan trauma dan keadilan belum hadir. Ia menekankan pentingnya memasukkan perspektif korban dalam penulisan sejarah agar peristiwa tersebut tidak dilupakan dan keadilan dapat ditegakkan.

  • Kurangnya Perhatian pada Perspektif Korban: Beka Ulung Hapsara menyoroti bahwa Term of Reference (TOR) proyek penulisan sejarah ulang hanya mencantumkan dua peristiwa pelanggaran HAM berat, padahal Komnas HAM telah mengeluarkan hasil penyelidikan terhadap 13 kasus yang belum terselesaikan.
  • Kekhawatiran Akan Trauma dan Keadilan yang Belum Hadir: Beka Ulung Hapsara mengungkapkan kekhawatiran bahwa korban pelanggaran HAM berat masa lalu akan semakin dilupakan jika perspektif mereka tidak dimasukkan dalam penulisan sejarah.

Dengan adanya perbedaan pandangan ini, diskusi mengenai penulisan ulang sejarah bangsa Indonesia menjadi semakin menarik dan penting untuk diikuti. Perlu adanya dialog yang konstruktif antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, sejarawan, aktivis HAM, dan korban pelanggaran HAM, agar penulisan sejarah dapat dilakukan secara komprehensif, akurat, dan berkeadilan.