Tragedi Longsor Gunung Kuda: Pengelola dan Pengawas Tambang Jadi Tersangka, Abaikan Larangan Resmi
Kepolisian Resor Kota Cirebon menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus longsor di area pertambangan Galian C Gunung Kuda, yang terletak di Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut dari investigasi mendalam terkait tragedi yang menelan 19 korban jiwa.
Kedua tersangka adalah AK (59), pemilik sekaligus pengelola tambang yang beroperasi di bawah naungan yayasan Al-Azhariyah, dan AR (35), yang bertindak sebagai pengawas lapangan. Keduanya merupakan warga Kecamatan Dukupuntang.
Kapolresta Cirebon, Kombes Pol Sumarni, menjelaskan bahwa penetapan tersangka didasarkan pada bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa AK dan AR telah mengabaikan surat larangan resmi dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat. Surat larangan tersebut telah dilayangkan sebanyak dua kali sebelum insiden longsor terjadi.
"Kedua tersangka secara sadar dan terang-terangan melanggar larangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Mereka tetap menjalankan aktivitas penambangan meskipun sudah diperingatkan," tegas Kombes Pol Sumarni saat konferensi pers di Mapolresta Cirebon.
Berdasarkan hasil penyelidikan, surat larangan pertama diterbitkan pada 6 Januari 2025, diikuti surat larangan kedua pada 19 Maret 2025. Surat-surat tersebut secara spesifik ditujukan kepada AK dan AR, yang memiliki peran penting dalam operasional tambang di bawah Koperasi Pondok Pesantren Al-Azhariyah.
Modus operandi yang dilakukan oleh kedua tersangka adalah dengan tetap melanjutkan aktivitas penambangan meskipun telah menerima surat larangan. Bahkan, AK sebagai pemilik tambang, secara aktif memerintahkan AR sebagai kepala teknik tambang untuk terus menjalankan operasional penambangan.
Selain mengabaikan larangan resmi, AK dan AR juga terbukti lalai dalam menerapkan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam setiap aktivitas pertambangan. Mereka tidak mengindahkan pola penambangan yang aman dan tidak menyediakan alat kerja standar yang memadai bagi para pekerja.
Kelalaian dan pelanggaran tersebut dinilai menjadi faktor utama penyebab terjadinya longsor pada Jumat, 30 Mei 2025. Akibatnya, 19 orang kehilangan nyawa dan 6 lainnya masih dalam proses pencarian.
Saat ini, tim penyidik Polresta Cirebon telah menyita sejumlah barang bukti yang terkait dengan kasus ini, termasuk surat larangan, dokumen izin tambang yang telah dicabut, tujuh alat berat, serta sarana dan prasarana milik yayasan Al-Azhariyah yang digunakan dalam aktivitas pertambangan.
Kedua tersangka dijerat dengan pasal berlapis, termasuk:
- Pasal 98 ayat (1) dan (3) serta Pasal 99 ayat (1) dan (3) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman pidana penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp 15 Miliar.
- Pasal 35 ayat (3) jo Pasal 186 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah UU No. 6 Tahun 2023, dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun penjara.
Kombes Pol Sumarni menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengembangkan kasus ini dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka lain. Polresta Cirebon berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus ini demi memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga yang ditinggalkan.