PPP di Persimpangan Jalan: Warisan Ulama, Pragmatisme Politik, dan Upaya Rebranding

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), salah satu partai politik tertua di Indonesia, kini menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan eksistensinya di panggung politik nasional. Terjebak antara warisan nilai-nilai Islam yang diamanahkan para ulama dan godaan pragmatisme politik, PPP berada di persimpangan jalan yang menentukan arah masa depannya.

Kehilangan tokoh kharismatik seperti KH Maimun Zubair, yang mampu menjadi perekat soliditas partai di tengah konflik internal, menjadi pukulan telak bagi PPP. Di masa lalu, PPP memiliki tokoh-tokoh yang berani bersuara lantang membela kepentingan umat, bahkan tak gentar mengkritik penguasa. Namun, kini, suara politisi PPP di parlemen seakan meredup, kehilangan ketajamannya dalam menyuarakan aspirasi rakyat.

Sejarah kelam yang diwarnai konflik internal, perpecahan, dan kasus korupsi yang menjerat para elite partai semakin memperburuk citra PPP di mata publik. Kehilangan daya tarik di kalangan pemilih tradisional, terutama generasi muda, menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan partai berlambang Ka'bah ini.

  • Kemerosotan Perolehan Suara:
    • Pemilu 1999: 11.330.397 suara
    • Pemilu 2004: 9.248.764 suara
    • Pemilu 2009: 5.533.214 suara
    • Pemilu 2014: 8.157.488 suara
    • Pemilu 2019: 6.323.147 suara
    • Pemilu 2024: 5.878.777 suara

Jelang Muktamar X pada September 2025, PPP dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk melakukan rebranding. Upaya merangkul pemilih pemula, yang selama ini kurang mendapat perhatian serius, menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan publik. PPP harus mampu menampilkan diri sebagai partai Islam yang relevan dengan perkembangan zaman, tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang menjadi identitasnya.

Namun, upaya rebranding ini tidak akan berhasil jika PPP hanya fokus pada mencari sosok eksternal untuk menduduki kursi ketua umum. Munculnya nama-nama seperti Menteri Pertanian Arman Sulaiman, yang dikaitkan dengan kekuatan finansial, atau bahkan mantan Presiden Joko Widodo, justru mengindikasikan krisis kepemimpinan internal yang mendalam.

Kader-kader potensial seperti Ahmad Baidowi, yang memiliki rekam jejak elektoral yang mumpuni, seharusnya diberi kesempatan untuk memimpin partai. Bahkan, jika PPP ingin membuat gebrakan besar, menggandeng tokoh seperti Anies Baswedan, yang memiliki daya tarik kuat di kalangan pemilih Muslim, bisa menjadi opsi yang menarik.

Tentu saja, kombinasi ideal antara pemimpin muda yang visioner dan tokoh kharismatik yang mampu merangkul berbagai kalangan hanyalah sebuah angan-angan di atas kertas. Realitas politik seringkali diwarnai oleh kepentingan pragmatis dan transaksional. Namun, jika PPP ingin benar-benar bangkit dari keterpurukan, partai ini harus berani mengambil langkah-langkah berani dan inovatif, serta menjauhi praktik-praktik koruptif yang telah merusak citranya.

Akankah PPP mampu keluar dari persimpangan jalan ini dengan selamat? Akankah warisan ulama dan idealisme perjuangan mampu mengalahkan godaan pragmatisme politik? Waktu yang akan menjawab.