Refleksi Haji: Meneguhkan Kesetaraan di Tengah Pusaran Geopolitik Global

Gelombang ketegangan dan manipulasi geopolitik global saat ini, seolah menyelimuti hampir seluruh kawasan di dunia. Praktik yang menyerupai "kolonialisme modern" dilakukan oleh negara-negara adikuasa melalui eksploitasi sumber daya alam dan persaingan dominasi, yang tak kalah merusak dibandingkan kolonialisme klasik.

Penjajahan terus berlangsung, hanya metodenya yang berubah, sementara hasrat untuk mendominasi tetap ada, bahkan semakin kuat. Dunia internasional dihadapkan pada paradoks: narasi idealisme global tentang HAM, demokrasi, dan kesetaraan sering digaungkan, namun kekuatan adidaya justru memperbarui praktik kolonial dalam versi yang lebih halus. Kolonialisme kini hadir bukan lagi dengan pasukan militer bersenjata, melainkan melalui dominasi dan monopoli.

Aliansi internasional menjelma menjadi instrumen tersembunyi yang menciptakan ketergantungan ekonomi dan politik negara-negara berkembang. Negara-negara adikuasa terlibat dalam konflik di kawasan strategis demi menguasai jalur energi. Di tengah perburuan sumber daya alam dan dominasi adikuasa, dunia membutuhkan ruang hening yang menghubungkan kembali kesadaran global yang terputus.

Kesadaran bahwa manusia setara dan saling membutuhkan, bukan saling menindas, adalah esensi yang ditawarkan oleh ibadah haji. Haji bukan sekadar ritual, melainkan "protes suci" terhadap sistem dunia yang timpang, penuh ambisi, dan cenderung kejam. Ibadah haji meniadakan dominasi, penyakit kronis dunia internasional.

Haji bukan "pelarian religius", melainkan ritus revolusioner yang mengumandangkan gagasan bahwa dunia global harus dibangun di atas persamaan dan penghormatan pada martabat semua warga dunia. Di Arafah, jutaan orang berdoa dalam kekhusyukan massal, tanpa senjata atau pidato politik provokatif. Ini adalah simbol dunia impian, dunia tanpa agresor, pengungsi, nuklir, bom, dan penyanderaan.

Dalam ritual lempar jumrah, terdapat konfirmasi moral bahwa tirani, ego, dan ketamakan global harus menjadi musuh bersama dan dibasmi. Tawaf adalah "putaran protes suci" terhadap permainan kotor global. Pusaran manusia yang mengitari Kabah adalah simbol perlawanan spiritual terhadap poros kekuasaan global yang pongah. Saat para pemimpin negara adikuasa mempermainkan nasib umat manusia melalui perang dagang dan tarif, ritual tawaf merespons dengan gerakan melingkar yang tertib, teratur, dan terpusat.

Tawaf memberitahukan bahwa dunia membutuhkan orbit yang adil, bukan pusaran kepentingan yang diciptakan para pemimpin adikuasa yang ugal-ugalan. Selama ini, etika global diharapkan lahir dari debat akademik atau forum elite internasional, namun hasilnya terlambat atau bahkan tidak kunjung tiba. Melalui ibadah haji, kita berharap etika global dapat terwujud.

Ibadah haji menyadarkan bahwa bumi ini bukan milik satu bangsa atau sistem ekonomi, tetapi anugerah bersama yang harus dijaga, dibagi, dan diwariskan secara adil ke generasi mendatang. Haji menginspirasi umat manusia untuk menyusun kembali tatanan global. Semangat haji—kesetaraan, kesederhanaan, dan solidaritas—jika diterapkan dalam kebijakan global, perusahaan internasional tidak akan mengejar keuntungan dengan menekan buruh miskin.

Negara seharusnya tidak menjarah kekayaan negara lain. Masyarakat dunia harus mengutamakan hidup berbagi, simpati, empati, dan saling memahami. Namun, realitas geopolitik menunjukkan bahwa negara-negara mengejar kepentingan sendiri tanpa kendali moral.

Haji memberikan pola konkret etika global. Dalam hamparan jutaan manusia yang beragam, dengan pola ritual yang sama, ibadah haji menyampaikan pesan bahwa manusia yang berbeda dapat hidup bersama tanpa merasa memiliki hak menguasai yang lain. Spiritualitas global dalam ibadah haji belum berhasil diterjemahkan ke dalam struktur dunia. Mungkin ini adalah utopia moral, namun utopia ini harus terus digaungkan sebagai ilusi strategis yang menekan kerakusan, membingkai diplomasi, dan "menyemprot" para predator global.

Utopia diperlukan sebagai harapan menghadapi realitas yang brutal. Dunia tidak kekurangan konferensi perdamaian atau deklarasi internasional, tetapi kekurangan kesadaran moral kolektif global, yang dapat ditumbuhkan dari ritual haji. Haji menuntun masyarakat global agar sadar bahwa masa depan hanya dapat dipertahankan oleh nilai-nilai kebersamaan, saling mengenal, dan tanggung jawab lintas batas. Ritual haji mengajarkan bahwa peradaban yang bertahan bukanlah yang terkuat atau terkaya, melainkan yang paling manusiawi.