Tragedi Gunung Kuda: Izin Tambang Kontroversial di Tengah Rentetan Longsor Mematikan
Kabupaten Cirebon kembali berduka. Tragedi longsor di area pertambangan Gunung Kuda, yang terjadi pada Jumat, 30 Mei 2025, telah merenggut nyawa setidaknya 19 pekerja dan meninggalkan luka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Peristiwa ini memicu pertanyaan mendasar: Mengapa izin operasi tambang di lokasi rawan longsor ini tetap diberikan, bahkan setelah serangkaian kejadian serupa di masa lalu?
Kejadian longsor tragis ini bukan yang pertama kali terjadi di Gunung Kuda. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, area pertambangan ini telah mencatat lima kali insiden longsor. Catatan kelam ini dimulai pada 26 April 2015, ketika tebing setinggi 20 meter runtuh secara tiba-tiba, menewaskan dua pekerja, Tabrodi dan Edi Odong, serta menimbun sejumlah alat berat. Kejadian ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua pihak terkait.
Namun, aktivitas pertambangan terus berlanjut, dan bencana kembali terjadi. Pada 30 September 2021, masyarakat dikejutkan dengan video longsor yang memperlihatkan material batu alam dan kapur berhamburan. Untungnya, insiden ini tidak memakan korban jiwa. Akan tetapi, rentetan longsor tidak berhenti di situ. Pada 19 Juni 2023, longsor besar kembali melanda Gunung Kuda. Pihak pengelola tambang, Koperasi Al Jariyah, mengakui bahwa longsor tersebut merupakan konsekuensi dari metode penambangan undercutting yang mereka terapkan. Teknik ini, yang melibatkan pengerukan dari bawah tebing, jelas berisiko tinggi dan berpotensi memicu ketidakstabilan struktur tanah.
Ironisnya, dua tahun kemudian, tepatnya pada 11 Februari 2025, longsor kembali terjadi. Kali ini, para pekerja diliburkan, sehingga tidak ada korban jiwa. Namun, kejadian ini semakin memperjelas bahwa Gunung Kuda adalah area yang sangat rentan terhadap bencana longsor.
Puncak dari tragedi ini terjadi pada 30 Mei 2025. Longsor dahsyat menimbun tujuh dump truck, tiga ekskavator, dan puluhan pekerja. Hingga saat ini, 19 orang telah dinyatakan meninggal dunia, belasan lainnya mengalami luka-luka, dan enam orang masih dalam proses pencarian. Pihak kepolisian telah menetapkan tersangka dari unsur pengelola tambang, sementara proses evakuasi dan pencarian korban terus diupayakan.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat, Bambang Tirto Yuliono, menjelaskan bahwa pemberian izin pertambangan lanjutan pada tahun 2020 didasarkan pada pertimbangan dan evaluasi yang matang. Pemerintah provinsi pada saat itu merasa memiliki dasar yang kuat untuk memberikan izin tersebut. Namun, Bambang juga menduga adanya kelalaian dalam metode penambangan yang diterapkan dalam beberapa tahun terakhir. Ia menyebutkan bahwa peringatan telah diberikan berkali-kali, dan inspektur utama telah diinformasikan untuk melakukan pendalaman terhadap metode pekerjaan penambangan.
Kasus longsor di Gunung Kuda ini menjadi sorotan tajam terhadap sistem perizinan dan pengawasan aktivitas pertambangan di Indonesia. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah bagaimana mungkin izin operasi tetap diberikan kepada tambang yang berlokasi di area yang jelas-jelas rawan longsor, dan bagaimana pengawasan terhadap metode penambangan yang berpotensi membahayakan keselamatan pekerja dapat dilakukan secara lebih efektif. Tragedi ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terkait, agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan.
Daftar Kejadian Longsor di Gunung Kuda:
- 26 April 2015: Tebing longsor, 2 pekerja tewas.
- 30 September 2021: Longsor material batu alam dan kapur, tidak ada korban jiwa.
- 19 Juni 2023: Longsor besar akibat metode undercutting.
- 11 Februari 2025: Longsor, tidak ada korban jiwa karena pekerja diliburkan.
- 30 Mei 2025: Longsor menimbun pekerja dan alat berat, 19 orang tewas.