Mengenal Mythomania: Kecenderungan Berbohong Kronis yang Viral di Media Sosial
Fenomena mythomania, atau kecenderungan berbohong secara kronis, belakangan ini menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial, terutama TikTok. Istilah ini mencuat seiring dengan banyaknya pengguna yang berbagi pengalaman terkait interaksi mereka dengan individu yang diduga mengidap kondisi tersebut, bahkan beberapa di antaranya menyadari adanya kecenderungan serupa pada diri mereka sendiri. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan mythomania?
Secara sederhana, mythomania dapat diartikan sebagai suatu kondisi psikologis di mana seseorang memiliki dorongan kompulsif untuk berbohong secara terus-menerus, tanpa adanya motif atau alasan yang jelas. Kebohongan yang diutarakan bukan sekadar untuk menghindari konsekuensi atau mencari keuntungan pribadi, melainkan lebih merupakan manifestasi dari kebutuhan internal yang kuat untuk berfantasi dan menciptakan realitas alternatif. Akar kata mythomania sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu 'mytho' yang berarti cerita atau dongeng, dan 'mania' yang berarti dorongan yang tidak terkendali. Dengan demikian, mythomania secara harfiah dapat diartikan sebagai dorongan tak terkendali untuk membuat cerita atau berbohong.
Dalam ranah psikologi, mythomania juga dikenal dengan istilah pseudologia fantastica. Kondisi ini ditandai dengan kecenderungan individu untuk mengarang cerita-cerita fantastis yang seringkali tidak masuk akal. Lebih jauh lagi, penderita pseudologia fantastica terkadang benar-benar mempercayai kebohongan yang mereka ciptakan, sehingga sulit bagi mereka untuk membedakan antara realitas dan fantasi. Penting untuk dicatat bahwa berbohong sesekali bukanlah indikasi mythomania. Namun, jika kebohongan menjadi pola perilaku yang menetap dan berdampak negatif pada kehidupan pribadi, sosial, atau profesional seseorang, maka kemungkinan besar orang tersebut mengalami mythomania.
Kemunculan mythomania tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan dipicu oleh berbagai faktor kompleks, antara lain:
- Pengalaman Traumatis: Trauma masa lalu dapat menjadi pemicu mythomania sebagai mekanisme pertahanan diri untuk menghindari atau mengubah realitas yang menyakitkan.
- Tekanan Hidup dan Stres: Tingkat stres yang tinggi dan tekanan hidup yang berat dapat mendorong seseorang untuk berbohong sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau mencari validasi.
- Gangguan Kepribadian: Mythomania seringkali dikaitkan dengan gangguan kepribadian tertentu, seperti gangguan kepribadian antisosial atau borderline.
- Masalah Kesehatan Otak: Dalam kasus yang jarang terjadi, mythomania dapat disebabkan oleh masalah kesehatan otak, seperti demensia frontotemporal, yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk membedakan antara realitas dan khayalan.
Jika tidak ditangani dengan tepat, mythomania dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif, seperti hilangnya kepercayaan dari orang lain, kerusakan hubungan interpersonal, kesulitan dalam karier, hingga perasaan isolasi dan kesepian. Oleh karena itu, penanganan mythomania memerlukan pendekatan profesional yang melibatkan psikolog atau psikiater. Terapi yang tepat dapat membantu penderita mythomania untuk memahami akar penyebab kecenderungan berbohong mereka, mengembangkan mekanisme koping yang lebih sehat, dan membangun hubungan yang lebih jujur dan autentik.
Viralnya istilah mythomania di TikTok menunjukkan bahwa kondisi ini mungkin lebih umum daripada yang diperkirakan sebelumnya. Banyak pengguna media sosial yang merasa terhubung dengan pengalaman orang lain yang berurusan dengan mythomania, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Fenomena ini menyoroti pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental dan mencari bantuan profesional jika merasa mengalami masalah psikologis.