Pakar UI: Potensi Kenaikan Kasus COVID-19 di Indonesia Terabaikan Akibat Minimnya Pengujian

Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai potensi kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia yang mungkin tidak terdeteksi. Meskipun data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan penurunan kasus pada pekan ke-20, yang didominasi varian MB.1.1, Pandu Riono meyakini bahwa angka tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan.

"Kalaupun ada kenaikan, kemungkinan besar tidak terdeteksi karena minimnya pengujian. Saat ini, tidak banyak masyarakat yang bersedia melakukan tes, apalagi jika tidak mengalami gejala yang signifikan. Biaya pengujian juga menjadi faktor penghambat, berbeda dengan masa awal pandemi COVID-19 ketika tes tersedia secara gratis," ujarnya.

Menurutnya, data yang dilaporkan saat ini tidak sepenuhnya menggambarkan situasi yang sebenarnya. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa lonjakan kasus di beberapa negara tidak diikuti dengan peningkatan signifikan pada tren rawat inap maupun angka kematian. Akibatnya, penularan COVID-19 masih terus terjadi, meskipun sebagian besar kasus bersifat asimtomatik atau hanya menunjukkan gejala ringan.

"Jika pasien tidak sampai dirawat di rumah sakit, mereka tidak akan menjalani tes. Hanya pasien dengan gejala flu berat yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit yang akan dicari penyebabnya. Hal ini menjadi perhatian khusus, terutama jika terjadi peningkatan kasus 'severe flu' secara tiba-tiba. Penanganan dan tata laksana berikutnya perlu dievaluasi," jelasnya.

Pandu Riono menambahkan, "Mungkin saja terjadi kenaikan kasus di Indonesia, namun data yang ada tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. COVID-19 masih ada dan terus berlangsung sejak awal pandemi hingga saat ini."

Kekhawatiran utama adalah potensi mutasi virus yang lebih dahsyat atau mematikan, seperti gelombang COVID-19 varian Delta. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa situasi masih relatif terkendali karena tidak terjadi lonjakan kasus kematian atau peningkatan signifikan pasien yang membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit.

Sebagai langkah preventif, Pandu Riono mengimbau masyarakat untuk kembali fokus pada upaya pencegahan, seperti penggunaan masker dan penerapan pola hidup bersih dan sehat.

"Penting untuk selalu waspada dan mengutamakan pencegahan. Gunakan masker saat berada di ruang publik. Tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat masih menggunakan masker sebagai bentuk kewaspadaan. Jika mengalami gejala flu, gunakan masker untuk mencegah penularan kepada orang lain," sarannya.

Menanggapi imbauan vaksinasi booster, Pandu Riono berpendapat bahwa belum ada bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung efektivitas vaksinasi booster dalam memberikan perlindungan tambahan terhadap varian baru. Menurutnya, imbauan vaksinasi booster justru dapat menimbulkan efek kontraproduktif dan memicu spekulasi di masyarakat.

"Vaksinasi ulang tidak diperlukan karena tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa vaksinasi ulang dapat menangani varian-varian baru. Imunitas yang ada saat ini sudah cukup memadai. Imbauan vaksinasi booster dapat menimbulkan persepsi negatif bahwa Kementerian Kesehatan hanya ingin menjual vaksin," ujarnya.

Indonesia, menurutnya, beruntung karena mayoritas vaksin COVID-19 yang digunakan adalah jenis Sinovac.

"Tidak perlu booster karena tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan peningkatan perlindungan terhadap varian baru. Kita beruntung menggunakan Sinovac, vaksin yang cukup andal. Sinovac menggunakan virus utuh, sedangkan mRNA hanya menggunakan bagian dari virus yang mudah berubah, yang menjadi kekhawatiran di banyak negara. Indonesia tidak perlu khawatir," pungkasnya.