Skandal Cambridge Analytica: Dampak dan Denda Raksasa yang Menghantui Facebook
Tahun 2018 menjadi titik nadir bagi Facebook, kini dikenal sebagai Meta, dengan mencuatnya skandal Cambridge Analytica yang mengguncang dunia maya. Tujuh tahun silam, terungkap bahwa data pribadi jutaan pengguna Facebook telah disalahgunakan oleh lembaga analisis data asal Inggris, Cambridge Analytica, memicu gelombang protes dan investigasi yang berujung pada denda bernilai fantastis.
Skandal ini bermula dari laporan yang mengungkap bahwa Cambridge Analytica telah mengakses data pribadi sekitar 50 juta pengguna Facebook tanpa izin. Belakangan, angka ini membengkak menjadi 87 juta. Data tersebut kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik, khususnya kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2016. Cambridge Analytica, yang bekerja sebagai konsultan politik untuk kampanye Donald Trump, diduga menggunakan data tersebut untuk menargetkan pemilih dengan pesan-pesan yang dipersonalisasi.
Praktik pengumpulan data ini dilakukan melalui aplikasi pihak ketiga bernama "thisisyourdigitallife," yang dikembangkan oleh peneliti bernama Aleksandr Kogan. Aplikasi ini, yang hanya diunduh oleh sekitar 270.000 pengguna Facebook, mampu mengakses data pribadi teman-teman pengguna yang mengunduhnya, sehingga jangkauannya meluas hingga puluhan juta orang. Data yang dikumpulkan mencakup informasi pribadi, preferensi, lokasi, dan jaringan pertemanan.
Facebook segera mengambil tindakan dengan menangguhkan Cambridge Analytica, SCL (Strategic Communications Laboratories), Kogan, dan Christopher Wylie, seorang whistleblower yang membongkar skandal ini ke media massa. Namun, kerusakan telah terjadi. Facebook menghadapi serangkaian tuntutan hukum dan investigasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan regulator di Amerika Serikat dan Eropa.
Akibat skandal ini, Facebook harus membayar denda dengan jumlah yang sangat besar. Komisi Perdagangan Federal AS (FTC) menjatuhkan denda sebesar 5 miliar dolar AS (sekitar Rp 70 triliun dengan kurs saat itu) kepada Facebook karena dianggap lalai melindungi data pribadi pengguna. Selain itu, Facebook juga harus membayar denda sekitar 100 juta dolar AS (sekitar Rp 1,5 triliun) kepada Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) karena diduga menyesatkan investor terkait penyalahgunaan data pribadi.
Puncaknya pada tahun 2022, Facebook setuju untuk membayar denda sebesar 725 juta dolar AS (sekitar Rp 11,3 triliun dengan kurs saat itu) untuk menyelesaikan gugatan class action yang telah diajukan sejak tahun 2018. Gugatan ini menuduh Facebook telah melanggar privasi pengguna dengan membiarkan Cambridge Analytica mengakses data mereka tanpa izin. Denda ini menjadi yang terbesar yang pernah dibayarkan oleh Meta untuk menyelesaikan gugatan. Kasus ini juga menyeret Mark Zuckerberg, pendiri dan CEO Meta, ke penyelidikan dan sidang di hadapan parlemen AS.
Skandal Cambridge Analytica menjadi pelajaran pahit bagi Facebook dan industri teknologi secara keseluruhan. Peristiwa ini menyoroti pentingnya melindungi data pribadi pengguna dan bertanggung jawab atas penggunaan data tersebut. Sejak saat itu, Facebook telah melakukan sejumlah perubahan pada kebijakan privasinya dan memperketat kontrol atas aplikasi pihak ketiga. Namun, dampak dari skandal ini masih terasa hingga saat ini, dan Facebook terus berjuang untuk memulihkan kepercayaan pengguna.