Rupiah Terjebak di Antara Sentimen Global dan Data Domestik: Mampukah Bertahan?
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih dibayangi ketidakpastian. Analis memproyeksikan rupiah akan kesulitan menembus level di bawah Rp 16.200 per dolar AS dalam waktu dekat. Kombinasi antara kebijakan tarif AS yang kontroversial dan data ekonomi domestik yang kurang menggembirakan menjadi faktor penentu arah pergerakan mata uang Garuda.
Sentimen negatif dari eksternal terutama datang dari kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Terbaru, AS memberlakukan tarif sebesar 50 persen terhadap bahan baku baja dan aluminium. Langkah ini semakin memperuncing tensi perang dagang global, yang pada gilirannya menekan mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Meskipun sempat ada harapan bahwa pengadilan AS dapat membatalkan kebijakan tarif tersebut, pemerintahan Trump terus berupaya untuk mempertahankan kebijakan tersebut melalui banding. Ketidakpastian ini membuat investor cenderung menghindari aset berisiko dan beralih ke aset yang lebih aman seperti dolar AS.
Dari dalam negeri, data manufaktur Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia yang baru-baru ini dirilis menunjukkan adanya kontraksi. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas manufaktur di Indonesia masih belum pulih sepenuhnya. Data ini memberikan sinyal negatif bagi investor dan membatasi potensi penguatan rupiah. Analis memperkirakan bahwa rupiah akan bergerak dalam kisaran Rp 16.250 hingga Rp 16.400 per dolar AS.
Namun, ada secercah harapan bagi penguatan rupiah. Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, mencatat bahwa rupiah sempat menguat ke kisaran Rp 16.200 per dolar AS seiring dengan meredanya tekanan yield US Treasury dan derasnya aliran modal asing (inflow) ke pasar saham dan obligasi domestik. Kiwoom Sekuritas memprediksi bahwa rupiah berpotensi menguat lebih lanjut ke kisaran Rp 16.100 – Rp 16.000 per dolar AS, terutama jika bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), mengisyaratkan perubahan kebijakan (pivot) dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) mendatang.
Liza menjelaskan bahwa meskipun probabilitas penurunan suku bunga (rate cut) oleh The Fed masih di bawah 50 persen, sinyal dovish dari pejabat The Fed atau pelemahan data ekonomi AS dapat memicu penurunan nilai dolar AS. Hal ini akan memberikan dukungan bagi stabilitas pasar keuangan Indonesia dan mendorong investor global untuk kembali berinvestasi pada aset berisiko di pasar negara berkembang.
Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah:
- Kebijakan Tarif AS: Tarif yang diterapkan oleh AS terhadap impor baja dan aluminium telah memperkeruh tensi perang dagang dan menekan nilai tukar mata uang negara berkembang.
- Data Manufaktur PMI Indonesia: Data PMI yang menunjukkan kontraksi mengindikasikan bahwa aktivitas manufaktur di Indonesia masih belum pulih sepenuhnya.
- Yield US Treasury: Meredanya tekanan yield US Treasury dapat mendorong aliran modal asing ke pasar saham dan obligasi domestik, yang pada gilirannya dapat mendukung penguatan Rupiah.
- Kebijakan The Fed: Sinyal dovish dari The Fed atau pelemahan data ekonomi AS dapat memicu penurunan nilai dolar AS dan memberikan dukungan bagi Rupiah.