Perang Dagang AS-China Memanas: Beijing Bantah Tuduhan Pelanggaran Kesepakatan

markdown Perseteruan antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, ditandai dengan saling tuding terkait pelanggaran kesepakatan dagang yang sebelumnya telah disepakati di Jenewa. Pemerintah China dengan tegas membantah tuduhan yang dilayangkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump, dan justru balik menuding Washington sebagai pihak yang merusak perjanjian tersebut.

Juru bicara Kementerian Perdagangan China, dalam pernyataan resminya, menyatakan bahwa serangkaian tindakan yang diambil oleh Amerika Serikat, termasuk pembatasan ekspor teknologi sensitif dan pencabutan visa bagi pelajar asal China, telah “secara serius merusak” fondasi kesepakatan yang dicapai di Jenewa. China mengancam akan mengambil langkah-langkah balasan untuk melindungi hak dan kepentingannya jika AS terus bertindak merugikan.

Ketegangan ini muncul setelah sempat mereda usai pertemuan antara Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng di Jenewa. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan sementara untuk menangguhkan sebagian besar tarif perdagangan selama 90 hari, dengan harapan dapat memberikan ruang bagi negosiasi yang lebih konstruktif. Namun, pemerintahan Trump justru memperketat pembatasan ekspor terhadap perangkat lunak desain semikonduktor dan bahan kimia ke China, serta mengumumkan pembatalan visa bagi pelajar-pelajar China, yang memicu reaksi keras dari Beijing.

Mantan Presiden Trump melalui media sosial menuduh China telah “sepenuhnya melanggar perjanjian” dengan AS. Kementerian Perdagangan China menanggapi tuduhan tersebut dengan menyatakan bahwa tuduhan Trump “sangat bertentangan dengan fakta,” dan menegaskan bahwa Beijing justru telah “secara ketat melaksanakan dan menjunjung tinggi” perjanjian tersebut. Mereka juga menunjuk pada sejumlah langkah pembatalan tarif yang telah dilakukan sejak April sebagai bukti komitmen China.

Pengamat dari East Asian Institute di National University of Singapore, Bert Hofman, berpendapat bahwa Trump tampaknya frustrasi dengan lambannya pelonggaran ekspor logam tanah jarang (rare earths) oleh China, yang dinilai bertentangan dengan semangat kesepakatan Jenewa. Sementara itu, Stephen Olson, peneliti senior di Yusof Ishak Institute Singapura, menilai bahwa China saat ini “nyaman mengambil sikap sangat tegas dalam negosiasi,” karena menyadari bahwa setiap kesepakatan dengan AS hanya akan memberi ketenangan sementara.

Ketegangan antara AS dan China tidak lagi terbatas pada isu dagang. Dalam forum keamanan regional Shangri-La Dialogue di Singapura, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menyebut ancaman dari militer China di kawasan Indo-Pasifik sebagai sesuatu yang “nyata” dan “segera terjadi.” Ia mendesak negara-negara sekutu untuk meningkatkan anggaran pertahanan sebagai penangkal terhadap Beijing.

Kedutaan Besar China di Singapura menyebut AS sebagai “biang kerok terbesar” atas ketidakstabilan regional. Kementerian Pertahanan China menuding Hegseth telah “memprovokasi mentalitas Perang Dingin” dan “melanggar kedaulatan China.” China tidak mengirimkan menteri pertahanannya ke forum tersebut—sebuah langkah yang dinilai oleh pengamat sebagai sinyal ketegangan yang semakin dalam.

Menteri Keuangan AS Scott Bessent, menyebut pembicaraan dagang dengan China tengah “mengalami kebuntuan” dan memerlukan intervensi langsung dari pemimpin kedua negara. Namun, harapan itu tampaknya sulit terwujud dalam waktu dekat. Kevin Hassett, Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS, menyatakan kemungkinan adanya pembicaraan langsung antara Trump dan Presiden China Xi Jinping pada pekan ini. Para pengamat menilai hal tersebut tidak realistis, mengingat perbedaan mendasar antara kedua negara. Pembicaraan di tingkat pemimpin hanya dilakukan jika semua isu pokok sudah disepakati di level teknis.