Krisis Kematian dan Ketegangan: Pemutusan Listrik Gaza oleh Israel Picu Kecaman Hamas dan Krisis Kemanusiaan
Krisis Kematian dan Ketegangan: Pemutusan Listrik Gaza oleh Israel Picu Kecaman Hamas dan Krisis Kemanusiaan
Langkah kontroversial Israel untuk memutus aliran listrik ke Jalur Gaza telah memicu reaksi keras dari kelompok Hamas dan memperdalam krisis kemanusiaan di wilayah tersebut. Keputusan ini, yang diumumkan oleh Menteri Energi Israel Eli Cohen pada Senin, 10 Maret 2025, dilakukan sebagai bagian dari strategi tekanan maksimal terhadap Hamas guna membebaskan sandera Israel yang masih ditahan. Langkah ini menimbulkan kemarahan luas dan dikecam sebagai tindakan hukuman kolektif yang tidak manusiawi.
Pemutusan listrik ini berdampak signifikan terhadap kehidupan warga Gaza. Pabrik desalinasi air utama, yang melayani lebih dari 600.000 penduduk, terhenti operasinya karena ketergantungannya pada jaringan listrik utama. Meskipun pabrik tersebut memiliki generator dan panel surya, kapasitas produksinya jauh berkurang, menyebabkan krisis air bersih meluas, terutama di wilayah selatan Gaza. Situasi ini semakin diperburuk oleh penutupan perlintasan Karem Abu Salem selama sembilan hari berturut-turut, yang menghambat masuknya bahan bakar, makanan, dan obat-obatan ke Gaza. Kondisi ini mengingatkan kembali pada pengepungan total Gaza pasca 9 Oktober 2023, di mana akses terhadap air, listrik, dan makanan sangat terbatas.
Hamas mengecam keras tindakan Israel ini sebagai upaya putus asa untuk menekan rakyat Palestina dan perlawanan mereka. Izzat al-Rishq, anggota biro politik Hamas, menyebut langkah tersebut sebagai taktik pemerasan yang tidak dapat diterima dan melanggar hukum internasional. Pernyataan serupa disampaikan oleh berbagai pihak internasional yang prihatin terhadap dampak kemanusiaan yang parah akibat pemutusan listrik ini. Mereka menekankan bahwa tindakan ini secara tidak proporsional memengaruhi warga sipil, termasuk anak-anak, wanita, dan lansia, yang sudah menderita akibat konflik berkepanjangan.
Krisis ini terjadi dalam konteks kebuntuan negosiasi gencatan senjata tahap kedua antara Israel dan Hamas. Israel menginginkan perpanjangan fase pertama gencatan senjata hingga pertengahan April, sementara Hamas menuntut transisi ke fase kedua yang mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, diakhirinya blokade, rekonstruksi wilayah, dan dukungan finansial. Kedua belah pihak telah melakukan pertemuan di Doha, Qatar, namun belum menghasilkan kesepakatan. Hamas menyebut telah terjadi dua pertemuan langsung dengan pejabat AS, sementara Israel juga akan mengirim delegasi ke Doha untuk melanjutkan negosiasi.
Ketegangan semakin meningkat dengan ancaman Israel untuk mengambil tindakan lebih keras jika Hamas tidak memenuhi tuntutannya. Media Israel melaporkan rencana yang disebut 'Rencana Neraka', yang mencakup pengusiran penduduk dari Gaza utara ke selatan, pemutusan listrik, dan dimulainya kembali pertempuran skala penuh. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi konflik dan bencana kemanusiaan yang lebih besar di Gaza. Kondisi sandera Israel yang masih ditahan di Gaza juga menjadi faktor utama yang memperumit upaya perundingan damai.
Perlu ditekankan bahwa pemutusan listrik bukan hanya sekadar masalah teknis, tetapi merupakan bagian dari strategi politik dan militer Israel yang memiliki konsekuensi kemanusiaan yang sangat berat bagi penduduk Gaza. Perkembangan situasi di Gaza memerlukan perhatian internasional yang serius dan upaya diplomatik yang intensif untuk mencegah eskalasi konflik dan memastikan akses bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza yang menderita.
Catatan: angka-angka spesifik seperti jumlah sandera dan tanggal peristiwa sesuai dengan informasi yang ada pada berita asli.