Polemik Penghapusan Majelis Disiplin Profesi: Dokter Terancam Kriminalisasi?

Risiko Kriminalisasi Mengintai Profesi Dokter Tanpa Majelis Disiplin Profesi

Jakarta - Dunia kedokteran Indonesia tengah menghadapi potensi perubahan signifikan dengan adanya gugatan terhadap Undang-Undang Kesehatan terkait peran Majelis Disiplin Profesi (MDP). Kekhawatiran muncul bahwa penghapusan fungsi MDP dapat meningkatkan risiko kriminalisasi terhadap dokter dalam menjalankan praktik mereka. Sidang uji materi UU Kesehatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi arena perdebatan mengenai perlindungan hukum bagi tenaga medis.

Dalam sidang tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan keraguannya terkait keberanian dokter untuk praktik tanpa perlindungan MDP. Pengalaman pribadinya yang sempat bercita-cita menjadi dokter namun mengurungkan niat karena takut disalahkan atas kematian pasien, meskipun telah bertindak sesuai standar profesi, menjadi sorotan. Arief mempertanyakan apakah dokter dapat bekerja tanpa rasa khawatir jika tidak ada mekanisme double check dari MDP, mengingat potensi kesalahan kecil dapat berujung pada ranah hukum.

Saksi ahli yang dihadirkan, seorang dokter spesialis jantung, juga menyampaikan pandangannya. Ia menekankan bahwa dalam profesi bedah jantung, risiko kematian pasien sangat tinggi. Meskipun tindakan medis telah dilakukan sesuai standar, kematian tetap dapat terjadi. Ia mempertanyakan apakah dokter harus dipenjara dalam situasi seperti itu. Pengalaman pribadinya saat praktik di Pekanbaru, dimana direktur rumah sakit tempatnya bekerja mendapat ancaman pelaporan jika gagal menangani pasien rujukan, menjadi contoh nyata tekanan yang dihadapi dokter. Situasi ini memicu fenomena "defense medicine", dimana dokter cenderung menolak pasien berisiko tinggi untuk menghindari potensi tuntutan hukum.

Permohonan uji materi UU Kesehatan ini menyoroti Pasal 308 ayat 1-9 yang mewajibkan rekomendasi MDP sebelum pemidanaan tenaga kesehatan. Pemohon, yang merupakan perkumpulan konsultan hukum medis dan kesehatan, berpendapat bahwa pasal ini menghalangi hak atas keadilan dan proses hukum yang adil bagi pasien yang merasa dirugikan oleh tindakan medis. Mereka meminta MK untuk menghapus pasal tersebut, sehingga penegak hukum dapat bertindak tanpa harus menunggu rekomendasi dari MDP.

Dampak Penghapusan MDP: Antara Kepastian Hukum Pasien dan Perlindungan Dokter

Penghapusan MDP akan berdampak pada dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, pasien yang merasa menjadi korban malpraktik akan lebih mudah menempuh jalur hukum tanpa terhambat oleh proses rekomendasi MDP yang dianggap berbelit. Di sisi lain, dokter akan semakin rentan terhadap kriminalisasi dan tuntutan hukum, bahkan untuk kasus-kasus dimana mereka telah bertindak sesuai standar profesi.

Kekhawatiran akan kriminalisasi ini dapat memicu "defense medicine" yang lebih luas, dimana dokter cenderung menghindari tindakan medis berisiko tinggi, yang pada akhirnya dapat merugikan pasien yang membutuhkan pertolongan. Selain itu, dokter juga dapat menjadi lebih defensif dalam praktik mereka, lebih fokus pada menghindari tuntutan hukum daripada memberikan perawatan yang optimal kepada pasien.

Perdebatan mengenai peran MDP ini mencerminkan kompleksitas dalam menjaga keseimbangan antara hak pasien untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum bagi dokter dalam menjalankan profesi mereka. Putusan MK atas uji materi UU Kesehatan ini akan menjadi penentu arah bagi dunia kedokteran Indonesia di masa depan.