Indonesia dan Perancis Perkuat Kemitraan Strategis di Tengah Dinamika Geopolitik Global
Presiden Perancis Emmanuel Macron melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 28 Mei 2025, menandai babak baru dalam hubungan bilateral kedua negara. Dalam acara resmi yang berlangsung di Istana Merdeka, Jakarta, sebanyak 21 dokumen kesepakatan ditandatangani dan diumumkan di hadapan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Emmanuel Macron. Kesepakatan ini mencakup berbagai sektor penting, termasuk pertahanan, energi, keamanan maritim, pendidikan, teknologi digital, dan transisi hijau.
Kemitraan ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam hubungan Indonesia-Perancis, yang berkembang dari sekadar hubungan simbolis menjadi kolaborasi yang substansial. Di tengah ketidakpastian global pasca-pandemi dan meningkatnya persaingan antar kekuatan besar, Indonesia dan Perancis menegaskan komitmen mereka untuk mendukung tatanan global yang stabil, inklusif, dan berdasarkan hukum internasional.
Dari perspektif geopolitik, kunjungan ini mencerminkan strategi adaptive hedging Indonesia dalam membangun kemitraan dengan kekuatan non-hegemonik. Indonesia berupaya menjaga kedaulatan dan memperluas ruang gerak strategis melalui kerja sama multilateral yang saling menguntungkan. Perancis, sebagai negara Eropa dengan kepentingan di kawasan Indo-Pasifik, melihat Indonesia sebagai mitra kunci dalam menjaga stabilitas regional, terutama di Laut Cina Selatan.
Pendekatan ini selaras dengan ideologi Pancasila dan ajaran Trisakti Bung Karno, yang menekankan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian budaya. Politik luar negeri Indonesia didasarkan pada kepentingan nasional, nilai-nilai moral, dan solidaritas global. Diplomasi Indonesia mengedepankan prinsip perdamaian, keadilan, dan kerja sama yang setara antar bangsa. Melalui kemitraan strategis dengan Perancis, Indonesia tidak hanya memperkuat posisi regionalnya tetapi juga menunjukkan kemampuannya sebagai bridge-builder global.
Di tengah rivalitas kekuatan besar yang membentuk lanskap geopolitik global, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo menerapkan pendekatan luar negeri berbasis adaptive hedging. Strategi ini menekankan pentingnya membangun kemitraan strategis dengan kekuatan non-hegemonik untuk menjaga fleksibilitas diplomatik, meningkatkan ketahanan nasional, dan memperluas ruang gerak Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian global. Pendekatan ini mencerminkan sikap non-blok yang adaptif, bukan netral pasif, tetapi aktif dalam menentukan kepentingan nasional.
Sebagai kekuatan menengah (middle power) dengan posisi geografis dan ekonomi yang strategis, Indonesia berkomitmen untuk tidak terjebak dalam blok kekuatan manapun. Adaptive hedging memungkinkan Indonesia untuk menjalin kerja sama yang setara dengan berbagai mitra, termasuk negara-negara Barat seperti Perancis dan kekuatan Asia seperti Jepang, India, dan China. Pendekatan ini bukan hanya diversifikasi politik luar negeri tetapi juga cara untuk memperkuat kemandirian dalam menentukan kebijakan regional dan global.
Dalam konteks Indo-Pasifik, strategi ini memperkuat peran Indonesia sebagai jangkar stabilitas kawasan. Indonesia aktif mempromosikan tatanan maritim yang damai, terbuka, dan berbasis hukum internasional, termasuk dalam isu-isu sensitif seperti Laut Cina Selatan. Melalui kerja sama dengan mitra non-hegemonik, Indonesia menjaga keseimbangan kekuatan regional tanpa menjadi perpanjangan tangan kekuatan besar tertentu. Ini adalah manifestasi konkret dari prinsip bebas aktif yang diperbarui secara dinamis sesuai dengan tantangan zaman.
Pendekatan ini juga sejalan dengan nilai-nilai ideologis Pancasila dan ajaran Trisakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Indonesia tidak hanya pragmatis dalam berelasi tetapi juga menjunjung tinggi prinsip keadilan, kedaulatan, dan solidaritas antar bangsa. Dengan demikian, adaptive hedging bukan hanya strategi geopolitik tetapi juga ekspresi dari jati diri bangsa dalam menghadapi dunia yang semakin multipolar dan kompleks.
Diplomasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo terus berlandaskan ideologi Pancasila dan ajaran Trisakti Bung Karno, terutama dalam membangun hubungan dengan negara-negara mitra seperti Perancis. Kedatangan Presiden Perancis Emmanuel Macron ke Jakarta membuktikan bahwa Indonesia tetap memegang prinsip-prinsip dasar tersebut sekaligus terbuka terhadap kemitraan strategis lintas kawasan. Penandatanganan 21 dokumen kerja sama menunjukkan bahwa hubungan Indonesia-Perancis bukan sekadar pragmatis tetapi dibangun atas dasar saling menghormati nilai, kedaulatan, dan visi bersama tentang tatanan dunia yang adil dan damai.
Ajaran Trisakti—berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan—menjadi panduan Indonesia dalam menjalin hubungan internasional yang sejajar dan tidak subordinatif. Dalam konteks hubungan dengan Perancis, Indonesia mengedepankan kedaulatan politiknya dengan menunjukkan posisi independen dalam isu-isu global seperti Laut Cina Selatan dan Palestina, sekaligus menjalin kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan di sektor energi, teknologi hijau, pertahanan, hingga pendidikan. Hubungan tersebut juga mengukuhkan prinsip berdikari dan menjadikan kerja sama sebagai sarana memperkuat kapasitas nasional, bukan ketergantungan.
Konsistensi Indonesia dalam mendukung solusi dua negara bagi Palestina, serta keterbukaan terhadap hubungan diplomatik dengan Israel, mencerminkan keberanian moral dan kebijaksanaan strategis. Pernyataan Presiden Prabowo dalam forum bilateral dengan Presiden Macron menegaskan bahwa dukungan terhadap Palestina bukan bentuk antagonisme terhadap negara lain, melainkan cermin komitmen terhadap keadilan universal. Dalam hal ini, Perancis sebagai negara demokratis turut menunjukkan sensitivitas terhadap prinsip-prinsip tersebut, menciptakan sinergi yang memperkuat keharmonisan nilai dalam hubungan bilateral. Sementara itu, Pancasila, dengan sila-silanya yang menjunjung kemanusiaan dan keadilan, menjadi landasan diplomasi Indonesia yang tidak sekadar reaktif terhadap situasi global tetapi juga proaktif sebagai jembatan antarperadaban.
Indonesia dan Perancis, meskipun berbeda latar budaya dan sejarah kolonial, mampu menjalin hubungan yang setara karena adanya fondasi nilai yang kokoh di masing-masing pihak. Dengan demikian, diplomasi Indonesia yang berbasis Pancasila dan Trisakti tidak hanya relevan dalam menghadapi tantangan geopolitik tetapi juga menjadi fondasi utama dalam menjalin kerja sama yang berkelanjutan dengan mitra global seperti Perancis. Hubungan bilateral ini mencerminkan bahwa kekuatan ideologis dan etika dalam politik luar negeri bukan sekadar retorika tetapi dapat diterjemahkan menjadi tindakan nyata yang memperkuat posisi Indonesia sebagai aktor independen, berdaulat, dan bermartabat di kancah internasional.
Kebijakan luar negeri Indonesia terus menunjukkan arah yang semakin progresif di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Dalam pernyataannya mengenai konflik Palestina-Israel, Presiden Prabowo menegaskan kesiapan Indonesia untuk bertindak sebagai bridge-builder atau jembatan dialog antar-kepentingan. Komitmen ini menandakan transformasi dari peran tradisional Indonesia yang cenderung reaktif menjadi aktor global yang proaktif, menjembatani konflik serta mendorong penyelesaian damai yang berkeadilan. Peran Indonesia sebagai mediator bukanlah hal baru, namun kini diperkuat dengan posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik dan legitimasi moral yang tinggi di mata dunia.
Dukungan terhadap solusi dua negara untuk Palestina tetap menjadi fondasi etis yang menjunjung tinggi solidaritas terhadap bangsa tertindas, sesuai amanat konstitusi dan semangat Konferensi Asia-Afrika 1955. Dalam kerangka ini, Indonesia tampil sebagai norm entrepreneur—pencipta dan penyebar norma—yang tidak hanya memediasi tetapi juga mengusulkan nilai dan prinsip sebagai dasar penyelesaian konflik. Prinsip-prinsip seperti keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hukum internasional menjadi landasan dalam setiap posisi Indonesia. Dengan membawa nilai-nilai Pancasila ke panggung global, Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan moral bisa menjadi alat diplomasi yang efektif, bahkan dalam isu paling sensitif seperti Palestina-Israel. Lebih dari sekadar kepentingan nasional, pendekatan ini memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki visi kosmopolitan yang selaras dengan tantangan zaman. Dalam dunia yang semakin multipolar dan terpolarisasi oleh kepentingan kekuatan besar, kehadiran negara-negara seperti Indonesia yang bersuara adil, netral, dan solutif menjadi kebutuhan mendesak.
Maka pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Emmanuel Macron mencerminkan lebih dari sekadar seremoni diplomatik. Ia merupakan bagian dari strategi geopolitik Indonesia untuk memperkuat posisi sebagai aktor penting dalam membentuk tata dunia baru yang lebih adil dan beradab. Sebagai negara dengan fondasi ideologis yang kuat melalui Pancasila dan ajaran Trisakti Bung Karno, Indonesia mengedepankan pendekatan diplomasi moral yang bertumpu pada prinsip kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian nasional. Visi ini menjadikan Indonesia bukan hanya sekadar negara berkembang yang mencari tempat di antara kekuatan besar, tetapi sebagai pemrakarsa nilai yang ingin menyeimbangkan realisme politik dengan etika internasional.
Dengan begitu, pertemuan Prabowo-Macron menjadi salah satu wujud konkret dari nilai tersebut. Dalam situasi global yang kian multipolar dan ditandai oleh persaingan antara kekuatan hegemonik, Indonesia menawarkan pendekatan inklusif dan kolaboratif. Hubungan strategis dengan Perancis, anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan kekuatan utama di Uni Eropa, memperkuat posisi Indonesia dalam membentuk poros demokrasi dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. Ini juga mencerminkan upaya Indonesia untuk menjembatani perbedaan geopolitik dan memperkuat tatanan dunia berbasis hukum internasional, bukan kekuatan koersif. Indonesia memandang kemitraan global tidak hanya melalui lensa ekonomi dan pertahanan tetapi juga sebagai ruang untuk membangun norma baru yang menjunjung martabat manusia, kesetaraan antarbangsa, dan perlindungan terhadap kepentingan kolektif.
Dengan landasan etika ini, Indonesia berperan sebagai kekuatan normatif yang berani menawarkan alternatif terhadap praktik-praktik hubungan internasional yang cenderung transaksional atau eksploitatif. Diplomasi yang dibangun bukan hanya untuk melindungi kepentingan nasional tetapi juga memperjuangkan tatanan global yang lebih manusiawi. Oleh karena itu, pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Macron harus dilihat sebagai bagian dari arsitektur diplomasi baru Indonesia—yakni diplomasi yang berani, inklusif, dan bermoral. Dalam dunia yang diwarnai ketidakpastian dan konflik, Indonesia hadir sebagai suara yang menyejukkan dan menjembatani. Dengan mengintegrasikan prinsip Pancasila dan visi Trisakti ke dalam praktik politik luar negeri, Indonesia dapat memainkan peran sentral dalam membentuk masa depan dunia yang lebih adil, damai, dan beradab.