Aduan Ayam Goreng Nonhalal Widuran di Solo Dihentikan Polisi: Bukan Ranah Pidana
Kasus dugaan penggunaan bahan nonhalal dalam proses pengolahan Ayam Goreng Widuran di Solo menemui titik terang. Kepolisian Resor Kota (Polresta) Solo memutuskan untuk menghentikan proses aduan yang diajukan oleh seorang warga bernama Mochammad Burhannudin.
Keputusan ini disampaikan oleh Kasatreskrim Polresta Solo, AKP Prastiyo Triwibowo, yang menjelaskan bahwa permasalahan ini lebih tepat diselesaikan melalui jalur administrasi oleh Pemerintah Kota Solo. Menurutnya, unsur pidana dalam aduan tersebut tidak terpenuhi.
"Secara pidana, kasus ini belum memasuki ranah pidana. Ini lebih merupakan kewenangan Bapak Wali Kota, dan kami siap berkolaborasi serta mendukung upaya-upaya yang akan dilakukan," ujar Prastiyo.
Dasar keputusan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, khususnya Pasal 26 dan 27. Undang-undang tersebut mengatur kewajiban pelaku usaha untuk memiliki keterangan halal. Namun, terdapat pengecualian di mana kewajiban sertifikasi halal tidak berlaku bagi usaha yang tidak mengklaim produknya halal.
"Terdapat celah hukum yang menyatakan bahwa jika pelaku usaha tidak memasang label halal, maka sanksi yang dikenakan hanya berupa sanksi administratif," jelas Prastiyo. Ia juga menambahkan bahwa pelapor dalam kasus ini bukanlah konsumen langsung dari Ayam Goreng Widuran, sehingga aduan tersebut dianggap sebagai informasi awal.
"Karena yang bersangkutan bukan konsumen secara langsung, kami juga mempertimbangkan legalitas pelapor," imbuhnya.
Sebelumnya, Mochammad Burhannudin mengungkapkan motivasinya melaporkan kasus ini. Ia merasa memiliki beban moral untuk menyuarakan keresahan masyarakat Muslim di Solo terkait Ayam Goreng Widuran yang sudah lama beroperasi.
"Saya merasa prihatin dengan permasalahan yang terjadi, terutama mengenai Ayam Goreng Widuran yang jelas-jelas meresahkan umat Muslim di Kota Solo," kata Burhannudin.
Burhannudin menyoroti bahwa Ayam Goreng Widuran telah beroperasi sejak tahun 1972. Namun, baru-baru ini terungkap bahwa mereka menggunakan bahan-bahan nonhalal dalam proses produksinya. Hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat Muslim.
"Selama ini, mereka menyajikan makanan yang tercampur dengan bahan-bahan yang tidak halal. Umat Islam merasa tertipu karena informasi ini baru terungkap setelah menjadi viral dan mereka menulis produknya sebagai nonhalal," ujarnya.
Burhannudin berharap kasus ini menjadi momentum bagi seluruh pelaku usaha kuliner di Solo untuk secara terbuka menginformasikan status halal atau nonhalal produk mereka.
"Pelaku usaha yang menjual produk nonhalal harus mencantumkan label nonhalal, sementara yang halal harus segera mengurus sertifikasi halal," pungkasnya.