Lombok Bersatu Menentang Pernikahan Anak: Tokoh Adat dan Agama Tegaskan Bukan Bagian dari Budaya Sasak
Penolakan Pernikahan Anak Menguat di Lombok
Para tokoh adat dan agama di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kembali menegaskan sikap mereka terhadap praktik pernikahan anak. Dalam sebuah pertemuan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, ditegaskan bahwa merariq kodek atau pernikahan usia dini bukanlah bagian dari adat Sasak. Justru, praktik ini dianggap melanggar aturan-aturan adat yang telah lama dipegang teguh.
Lalu Sajim Satriawan, Ketua Majelis Adat Sasak (MAS), menyampaikan bahwa pernikahan anak adalah sebuah praktik yang merugikan dan dapat memberikan dampak negatif bagi generasi mendatang. Menurutnya, standar kesiapan menikah antara zaman dulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Dulu, seorang laki-laki dianggap siap menikah jika sudah mampu membajak sawah dan mencari pakan ternak, sementara perempuan dianggap siap jika sudah mahir menenun, memasak, dan membantu orang tua di sawah. Ukuran-ukuran ini menjadi pertimbangan penting bagi orang tua dalam memutuskan apakah anak mereka sudah siap untuk berumah tangga.
Saat ini, banyak orang tua yang tidak lagi mempertimbangkan kesiapan anak-anak mereka berdasarkan standar-standar tradisional. Sajim menekankan pentingnya masyarakat Sasak untuk terus maju dan beradaptasi dengan perkembangan zaman, salah satunya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Untuk mengatasi maraknya pernikahan dini, sudah ada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur syarat sah perkawinan, usia minimal menikah, ketentuan harta bersama, dan hak-hak anak. Bahkan, Provinsi NTB juga memiliki peraturan daerah (perda) tentang perlindungan anak yang melarang pernikahan usia dini.
Tokoh agama dan ulama juga terus memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak lagi beranggapan bahwa anak perempuan yang sudah menstruasi otomatis siap untuk menikah. Secara mental, mereka belum siap untuk menghadapi tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu. "Bagaimana mungkin kita biarkan anak melahirkan anak?" ujarnya. Usia produktif seharusnya diisi dengan pengembangan diri dan pemahaman tentang ajaran agama serta peradaban.
MAS tidak bisa bekerja sendiri dalam mengatasi masalah ini. Mereka akan menggandeng Dewan Pendidikan Anak (DPA), Dewan Kebudayaan (DK), forum pesantren, perguruan tinggi, dan pemerintah untuk mencari solusi yang komprehensif. MAS juga berencana mengundang anggota Komisi V DPRD NTB untuk membahas masalah pernikahan usia anak dan mencari solusi bersama.
Pelaporan ke Polisi sebagai Efek Jera
Para tokoh adat dan agama sepakat bahwa pernikahan usia anak harus dilaporkan ke polisi sebagai efek jera. Langkah ini diharapkan dapat mencegah orang tua untuk menikahkan anak-anak mereka karena takut dianggap aib atau demi mengikuti adat secara membabi buta. Sajim mendukung penuh pelaporan orang tua dan pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan anak ke polisi oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA).
Sajim menyayangkan adanya aksi demonstrasi yang mendukung pernikahan usia anak. Menurutnya, cara berpikir dan bersikap seperti itu keliru dan tidak didukung oleh MAS. Selama ini, MAS seringkali berusaha menyelesaikan masalah pernikahan anak, namun seringkali tidak tuntas. Ia menyarankan agar pihak-pihak terkait segera melaporkan kasus pernikahan anak kepada pimpinan mereka jika merasa kesulitan menyelesaikannya.
Jika kasus pernikahan anak sulit dibatalkan, Sajim menyarankan agar pasangan tersebut dipisahkan sementara waktu sampai mereka benar-benar siap untuk menikah. Saran serupa juga diungkapkan oleh tokoh adat dan akademisi lainnya.
Baiq Hazizah Hariantini, akademisi Universitas 45 Mataram, mengusulkan agar seluruh tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, pondok pesantren, dan akademisi membuat pernyataan bersama bahwa merariq kodek bukanlah adat Sasak. Hal ini penting untuk meluruskan anggapan yang keliru di masyarakat.
Agus Faturahman, tokoh adat Lombok, menekankan pentingnya memperbaiki pendidikan sebagai cara untuk mengubah cara pandang masyarakat dan meluruskan adat istiadat yang keliru. Abdul Latif Apriaman, Ketua Yayasan Pedalangan Wayang Sasak, menawarkan gerakan literasi berbasis budaya sebagai salah satu solusi untuk menghadapi maraknya pernikahan dini di Lombok. Ia mengusulkan gerakan literasi Sibaturta (Simak, Baca, Tulis, Tutur, Tayang) untuk melatih kemampuan dasar anak-anak di semua jenjang pendidikan.
Selain pernikahan dini, pertemuan tersebut juga membahas masalah kekerasan seksual di pondok pesantren, lingkungan kampus, serta kasus LGBT di lingkungan kampus yang telah masuk ke ranah hukum.